Selasa, 29 Apr 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Elitisme Kejahatan, Tragedi Tiga Bank Pembangunan Daerah
Analisis dan Realitas Kebijakan Publik
Penulis: Martinus Laba Uung
Analisis - 13 Apr 2025 - Views: 80
image empty
Foto Istimewa, Dok. Pribadi
Martinus Laba Uung, Aktivis Sosial, Analis Kebijakan Publik, Tinggal di Jakarta

Logika publik dan logika para elit selalu sering bertabrakan demikian hebat. Bertabrakan karena apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kejahatan hampir bertolak belakang dengan apa yang dirasakan publik. Ada yang sedang dipertontonkan didepan ruang publik keseharian kita dengan arogansi yang luar biasa. Mereka ternyata para pejabat publik, para elite yang tertawa berseliweran sambil mencibir nurani publik yang kian terluka. Mereka merasa aman dan nyaman dibalik kekuatan para pemimpin publik juga yang cenderung bersengkongkol. Maka ketika publik muak dan menggiring penjahat ke kantor polisi di sana muncul tragedi-tragedi yang penuh dengan keruwetan seperti memergoki perampok jalanan, sangat kerumitan.

Dari BPD DKI, Bank BJB, Bank Kalbar, Menuju Kejahatan Sistem

Masih segar dalam ingatan. Malam itu takbiran, tanggal 30 bulan Maret tahun 2025, seharusnya jadi malam penuh damai, malam kemenangan atas hawa nafsu dan godaan dunia, penuh kegembiraan top-up e-wallet untuk menikmati kebahagiaan lebaran. Tapi nasabah Bank DKI malah disambut dengan tragedi digital nasional, layanan ambruk. Transfer antar bank, tidak bisa. Top-up, seperti hilang ke lubang hitam, sistem error pada Bank Pembangunan Daerah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Bank DKI mengalami gangguan mulai sejak 29 Maret dan menyebabkan nasabah tidak bisa melakukan transfer antarbank, pembayaran debit/QRIS, dan tarik tunai. Ini bukan hanya gangguan kecil, tapi bencana financial se-level kiamat kecil bagi rakyat urban yang hidupnya tergantung pada QRIS dan GoPay.

Keluhan dan respon publik membanjiri media sosial. Netizen panik, marah, bingung, dan sebagian mulai mempertanyakan eksistensi digital banking. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, langsung turun tangan dan mencopot Direktur IT Bank DKI, Amirul Wicaksono, memanggil audit independen serta menyerahkan kasus ini ke Bareskrim. Barangkali beliau berharap bisa menemukan jawaban apakah ini sabotase musuh negara atau cuma kelalaian biasa yang terlalu mahal. Bagi manajemen Bank DKI telah bersumpah tidak ada kebocoran data atau dana nasabah yang hilang. Tapi fakta di lapangan berkata lain, layanan belum sepenuhnya pulih. Bahkan, seminggu kemudian juga demikian. Rakyat disuruh percaya sistem yang tak bisa top-up e-wallet.

Belum selesai skandal itu reda, dari barat Pulau Jawa, Bank BJB memunculkan skenario yang lebih menggiurkan. Direktur Utama, Yuddy Renaldi, bersama empat kroninya, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Kasusnya, Pengadaan iklan fiktif tahun 2021–2023 dengan kerugian negara mencapai Rp.222 miliar. Iklan apa yang dibikin? Belum jelas. Tapi kalau sampai Rp.222 miliar, mungkin mereka menyewa Beyonce untuk jadi bintang iklan tabungan simpanan pelajar.

Dari dua bank diatas belum cukup bikin jantung berdebar, kini Bank Kalbar datang menyumbang babak tragedi. Mantan Dirutnya jadi DPO (Daftar Pencarian Orang) karena terlibat dugaan korupsi pengadaan tanah. Kerugian negara Rp.27,3 miliar. Tak besar dibanding BJB. Belum selesai skandal itu, Direktur Utama saat ini, Rokidi, tiba-tiba mengundurkan diri, alasannya? bukan tekanan publik, tapi kanker usus besar stadium 3B. Ia menyatakan tak sanggup lagi melanjutkan tugas dan harus fokus ke perawatan. Dramatis lagi, ia pamit tepat sehari sebelum lebaran. Sebagian publik terharu, sebagian lagi skeptis. Netizen pun bertanya, “Apakah ini strategi menghilang yang sah, atau hanya babak lanjutan dari kisah duka perbankan daerah?”

Wabah Paradoks Publik Perlu Kejujuran Para Elit

Publik semakin risau. Bangsa Indonesia kini sudah berubah jauh dari watak-watak yang patut dibanggakan. Peradaban para elit yang diharapkan menjadi contoh kini terkikis oleh pragmatism perut dan kepentingan. Kehendak mulia yang bisa dicapai dengan senyum kini diubah dengan darah dan kekerasan.

Kini mulai terbukti hipotesis dan seruan Bapak Presiden Prabowo Subianto. Uang negara mesti diselamatkan, walupun maling tetaplah maling yang harus dihukum sekalipun curian dikembaikan.

Bagaimana sikap aparat penegak hukum terhadap ketiga Bank Pembangunan Daerah diatas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan gebrakan-gebrakan antara lain; KPK telah melakukan penyitaan dokumen penting, kendaraan mewah, dan deposito senilai Rp.70 miliar. Melakukan penyelidikan terhadap kasus BJB dan melibatkan nama juga mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, ikut disebut-sebut dalam pusaran kasus ini. Ia belum ditetapkan sebagai tersangka, tapi sudah mulai diperiksa sebagai saksi. Publik menunggu kejelasan lanjutannya; Direktur Utama, Yuddy Renaldi, bersama empat kroninya, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Kasusnya? Pengadaan iklan fiktif tahun 2021–2023 dengan kerugian negara mencapai Rp.222 miliar. Iklan apa yang dibikin? Belum jelas; Mantan Dirut Bank Kalbar jadi DPO (Daftar Pencarian Orang) karena terlibat dugaan korupsi pengadaan tanah. Kerugian negara? Rp.27,3 miliar.

Dari deretan penjajagan pihak aparat penegak hukum kita bisa saja membuatkan kesimpulan sementara. Apakah ketiga bank pembangunan daerah ini mewakili kejahatan elitisme yang bermain bersama para pejabat elite Direksi Bank Pembangunan Daerah ataukah memang benar-benar sistemnya eror benaran. Mewakili tiga bank daerah, tiga kisah kacau. Satu error digital yang bikin rakyat kelimpungan. Satu iklan fiktif miliaran rupiah. Satu pengunduran diri dibalut penyakit berat. Apakah benar dikatakan bahwa di negeri ini, perbankan bukan sekadar urusan keuangan dan sebagai jantung pembanguna daerah malah melainkan Ini sudah jadi “reality show” dengan genre thriller-politik-medis-komedi. Semuanya belum satupun kejelasan.

Penjajagan KPK juga mengingatkan temuan dan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang indikasi kejahatan sistemik mengungkap sejumlah kecurangan di sektor perbankan. Kejahatan dalam industri keuangan tersebut memiliki berbagai macam modus operandi. Beberapa hal diharapkan menjadi perhatian serius antara lain terkait kas, pengambilan uang mesin ATM oleh petugas koordinator area, investasi pada medium term notes (MTN) dengan mengubah pedoman yang kemudian kerugiannya ditutupi dengan rekayasa investasi reksa dana. Kejahatan perbankan lainnya dalam pemberian kredit kepada debitur, kredit topengan atau pemberian kredit dengan menggunakan nama orang lain sebagai debitur, pemberian kredit modal kerja standby loan kepada debitur yang bukan pelaksana pekerjaan proyek dan proses pemberian kreditnya tidak sesuai pedoman. Ada juga persekongkolan oknum pejabat bank, debitur, dan makelar untuk menggunakan deposito milik orang sebagai agunan, kemudian dalam pelaksanaan kredit, deposito tersebut dicairkan. Kejahatan perbankan melalui tabungan dan deposito juga dilakukan dengan penerbitan dan aktivasi ATM tanpa sepengetahuan nasabah. Penarikan rekening nasabah/pencairan deposito tanpa sepengetahuan nasabah dan penawaran program tabungan/deposito di luar program resmi bank yang kemudian dana nasabah tersebut justru ditarik oleh oknum pejabat bank. Adanya tunggakan, penurunan kolektibilitas, dan munculnya kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dalam waktu cepat dapat menjadi indikator yang perlu diwaspadai. Modus kredit topengan. Hal itu dilakukan oleh oknum kepala cabang bank untuk lebih cepat memenuhi target penyaluran kredit. Hal ini terjadi seperti pada kredit bersubsidi, dengan adanya tingkat bunga yang lebih rendah, kredit bersubsidi sangat diminati oleh pelaku usaha. Andaikan bisa membuat kredit topengan dengan satu debitur Rp.100 juta dan dia punya 400 debitur maka dia bisa mendapatkan Rp.40 miliar dengan nilai bunga yang jauh berbeda apabila dia mendapatkan kredit yang sifatnya untuk segmen bisnis menengah.

Mengamati semua prilaku dan penyakit struktural maka diperlukan keberanian dan kejujuran yang luar biasa. Hanya kecurigaan masyarakat tidak bisa dijadikan alasan untuk pengusutan, tetapi dalam kekinian kecurigaan dibutuhkan kepada para pejabat publik yang memilik harta bersusun dan serba mewah. Jangan sampai kita Cuma mengumpat masa lalu dan terpukau dengan manusia masa kini yang berkotbah tentang moral dan kejujuran. Maka penjahat itu ada pada manusia masa lalu dan juga manusia masa kini. Inilah ujian pemerintah yang baru dibawa pemerintahan Prabowo Gibran. Bisakah dibuktikan dengan sapu bersih menyapu lebih bersih, bikin putus para elit bukan dengan omon-omon tetapi dengan tindakan nyata di muka hukum.*

 

*Penulis adalah Aktivis Sosial, Analis Kebijakan Publik Tinggal di Jakarta

A PHP Error was encountered

Severity: Core Warning

Message: Module 'igbinary' already loaded

Filename: Unknown

Line Number: 0

Backtrace: