Selasa, 29 Apr 2025
LidahRakyat | Aspirasi, Berani dan Aksi
Lidah yang Terbakar Matahari & Jeritan Anak Palestina di Tenda Pengungsian
Kumpulan Puisi Leni Marlina
Penulis: Leni Marlina*
Style - 04 Dec 2024 - Views: 2.69K
image empty
Ilustrasi
Ilustrasi Leni Marlina (Padang) "Lidah yang Terbakar Matahari & Jeritan Anak Palestina di Tenda Pengungsian". Sumber gambar: Starcom Indonesia's Artwork No. 321 by AI.

/1/
Lidah yang Terbakar Matahari

Lidahku terbakar matahari,
bukan oleh api, tapi oleh harapan yang tak terjamah.

Perut ini kosong, seperti laut yang menelan bintang,
tak ada gelombang yang datang untuk memberi makan.

Tapi aku tahu,
mungkin aku lebih kuat dari api,
karena aku menyala meskipun tidak ada api yang menghanguskan.

Kelaparan ini bagaikan rumah yang aku tinggali,
dan aku ibarat penghuni yang tidak pernah tidur—
menunggu uluran tangan yang yang belum kunjung datang,
nampaknya tak ada yang berdiri untuk kami,
kecuali tenda penuh sesak pengungsi.

Padang, Sumbar, 2022

/2/
Tanah yang Memuntahkan Air Mata


Tanah ini tidak lagi memberi hasil,
ia memuntahkan air mata yang tertimbun di dalamnya,
sungai-sungai yang dulu memberi kehidupan,
sekarang hanya aliran darah dan debu.

Aku menelan tanah itu,
seperti menelan dunia yang terluka,
dan tersedak pada  harapan yang hilang.

Di dalam perut ini, tanah itu tumbuh,
tapi ia tidak mengubah apapun—
ia hanya memakan tubuhku,
sampai aku menjadi tanah itu sendiri,
yang memimpikan datangnya sepotong roti.

Padang, Sumbar, 2022


/3/
Angin yang Mengunyah Perutku


Angin datang, tapi bukan membawa kesejukan,
ia mengunyah perutku,
memeras segala yang tersisa di dalam tubuh ini,
seperti gurun yang menelan segala yang hijau.

Aku berdiri diam,
seperti pohon yang tak punya akar,
dihembus angin yang tidak pernah datang untuk menumbuhkan.

Di dalam angin ini,
aku menemukan kebuntuan,
karena bahkan udara pun tak bisa meniupkan obat kelaparan,
aku menunggu makanan,
diantara bayang kematian di pengungsian.

Padang, Sumbar, 2022


/4/
Bulan di Tenda Pengungsian


Bulan itu menggantung rendah,
seperti jejak-jejak kelaparan yang tak bisa disembunyikan.

Aku melihatnya bukan sebagai cahaya,
tapi sebagai pelajaran yang mengajarkanku
bahwa malam ini, seperti malam sebelumnya,
tidak akan memberi makanan.

Bulan itu bagaikan api yang membakar ilusi—
ia menyinari kelaparan yang tak terlihat,
seperti bintang yang menghapus cahayanya sendiri,
agar dunia tahu bahwa tidak ada yang akan datang,
bahkan bulan pun tertutup oleh awan kelaparan ini.

Padang, Sumbar, 2023

/5/
Tangan yang Memungut Umpan dari Hujan Debu


Tangan ini tidak lagi menunggu roti,
tapi memungut umpan dari hujan debu yang jatuh.

Tetesannya menjadi air mata yang tak bisa ditahan,
membasahi kulit yang terluka,
membuat tubuh ini semakin tak terlihat.

Aku menadah hujan,
dan ia mengubah wajahku menjadi tanah,
hanya mengisi ruang kosong yang tak bisa dipenuhi.

Tapi aku tahu,
bahkan hujan pun terkadang terhenti—
membiarkan tubuhku mengering,
di bawah langit yang masih tak peduli.

Padang, Sumbar, 2023

/6/
Api yang Tidak Pernah Memasak


Aku menyalakan api di atas batu-batu pecah,
tapi ia tidak pernah memasak apa-apa.

Api itu hanyalah ilusi,
seperti janji-janji yang terbakar oleh waktu,
tanpa menghasilkan apapun selain asap yang menyiksa.

Aku menatap api,
dan api itu menatapku kembali,
seperti harapan yang dibakar untuk tidak tumbuh.

Api itu adalah angan yang tak bisa dimakan,
seperti mimpi yang dibakar tanpa bisa meninggalkan bekas.


Padang, Sumbar, 2023

/7/
Tetesan Air yang Menjadi Garam


Kau bertanya tentang air di pengungsian ini,
air itu datang,
tetapi bukan untuk menyegarkan,
melainkan untuk menjadi garam di luka.

Tetesan yang jatuh bukan menyejukkan,
tapi mengikis tubuh yang sudah kurus
seperti laut yang menggerus pantai.

Aku meneguk air itu,
dan ia menjadi pahit seperti kenangan yang hilang,
seperti segelas air yang aku tunggu-tunggu,
tapi akhirnya mengering dalam kehausan yang tidak pernah terpuaskan.

Tak usah pula kau tanya air yang keruh dan beracun, yang sudah menodai tenggorakanku bertahun-tahun.

Padang, Sumbar, 2024

/8/
Lautan Tanpa Ikan


Di Palestina,
laut itu ada,
tapi ia kosong,
seperti perutku yang menunggu sesuatu
yang tidak pernah datang.

Gelombang-gelombag itu terhempas ke pantai,
meninggalkan pasir yang kering dan tubuh yang lebih lemah.

Di tenda pengungsian ini,
aku mengingat laut yang kehilangan ikan,
seperti aku yang kehilangan makanan,
di mana lautan yang kaya telah menjadi kuburan,
untuk mereka yang lapar,
dan pantai dalam ingatanku,
menjadi tanah yang sudah mati,
dan tenda  tempat aku mengungsi,
sudah duluan mati.


Padang, Sumbar, 2024


/9/
Jari-jari yang Memetik Langit Kosong


Jari-jari ini, yang dulunya memetik buah dari pohon-pohon,
sekarang hanya menggapai langit kosong.

Di luar tenda lusuh,
aku seolah memetik bintang,
tapi mereka terjatuh sebelum bisa aku pegang.

Aku menatap langit,
tapi ia hanya menatap balik,
seperti wajah yang tersenyum untuk tidak memberi makan.

Langit itu bagai kaca yang tak pernah memantulkan kenyataan,
dan aku ibarat bayangan yang menghilang,
sebelum aku sempat menyentuh apapun.

Padang, Sumbar,  2022


/10/
Kepingan Roti yang Terbang Menjadi Debu


Di tenda pengungsian ini,
kepingan roti itu terbang,
tapi ia tidak jatuh ke tanah,
ia menjadi debu yang berterbangan,
seperti mimpi yang hilang di udara.

Aku mengejarnya,
dan debu itu mengelak,
seperti waktu yang menipu untuk berharap,
tanpa memberi sedikitpun.

Kepingan roti itu bagai janji kosong,
yang tidak pernah menjejakkan kaki di bumi,
mungkin menunggu aku jatuh pingsan  bersamanya.


Padang, Sumbar, 2022


*Biografi Singkat

Puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina tahun sebagai karya untuk  koleksi puisi pribadi tahun  2022. Puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kali oleh penulisnya melalui media digital tahun 2024.
Leni Marlina merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat. Ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair & Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Selain itu, Leni terlibat dalam Victoria's Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Leni juga merupakan pendiri dan pemimpin sejumlah komunitas digital yang berfokus pada sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:, (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC): https://rb.gy/5c1b02, (2) Komunitas Internasional POETRY-PEN; (3) Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat): https://tinyurl.com/zxpadkr; (4) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02.

Komentar (391)
Diva Olivia Daka Elipsi
15 April 2025, 23:08 WIB
The figurative language in the poem "A Sea Without Fish":
 Simile
“like my stomach waiting for something that never comes”
➤ Compares the empty sea to an empty stomach → shows hunger and hopelessness.
“like me who has lost its food”
➤ Compares the speaker to a sea without fish → reflects personal loss and suffering.
 Metaphor
“the rich ocean has become a graveyard”
➤ The sea is described as a graveyard → symbolizes death and destruction.
“the beach... has become dead land”
➤ The beach is now "dead land" → loss of life and memory.
“the tent... has already died”
➤ The tent is described as dead → even shelter no longer brings safety.

Diva Olivia Daka Elipsi (23019093)
25 JJ B. POETRY NK3-23 RB3-4 LM
REMIGIUS UA
13 Maret 2025, 12:43 WIB
Dari puisi ini menggambarkan kondisi penderitaan anak-anak Palestina. Dari sini, bisa muncul ide bisnis yang bermanfaat, seperti: • Air Bersih & Makanan Sehat – Menjual produk dengan konsep buy one, donate one, di mana setiap pembelian membantu menyediakan air dan makanan untuk pengungsi. • Edukasi & Kreativitas – Membuka kursus online atau pelatihan seni bagi anak-anak pengungsi agar mereka punya keterampilan untuk masa depan. • Produk Kemanusiaan – Menjual kaos, tas, atau buku bertema Palestina, di mana sebagian keuntungan disumbangkan untuk membantu mereka. Bisnis ini tidak hanya menguntungkan, tapi juga bisa membantu orang lain. Rahmiatul Husni Dein (24006201) 25 JJ P. KWU 452 SN1-2 LM ONLINE
admsejahtera
12 Maret 2025, 22:56 WIB
Dari puisi di atas menggambarkan kondisi sulit dan memprihatinkan para pengungsi, terutama terkait kelaparan dan kesulitan mendapatkan makanan. Dari kondisi ini, beberapa ide bisnis yang relevan dan memiliki potensi untuk membantu dapat dikembangkan seperti mengembangkan usaha kerajinan tangan yang memanfaatkan bahan-bahan daur ulang dari lingkungan sekitar pengungsian. Implementasi:
Memberikan pelatihan kerajinan tangan kepada pengungsi.
Membantu memasarkan produk kerajinan tangan melalui platform online atau offline.
Menggunakan bahan-bahan daur ulang seperti kain perca, plastik, atau kertas.

Defri Putra Fajar Alfath (25 JJ P. KWU 452 SN 1-2 LM ONLINE)
lYVRNemceDzjR
12 Maret 2025, 19:40 WIB
This poem tells about life which contains decisions of hope and does not stop just like that, there are many struggles to rise. The business idea that I can take from here is to open up job opportunities for workers who have difficulty finding work, for example education or places to study.
Dolarin Octoradilova Adisty 24006065 25 JJ PKWU 452 SN1-2 LM ONLINE
MEzxFZXfPXA
12 Maret 2025, 12:28 WIB
Dari puisi "lidah yang terbakar matahari" saya menjadi begitu tertarik mengenai bahwa betapa kuatnya manusia dalam menghadapi cobaan, penerapannya dalam usaha ialah ketika baru awal merintis biasanya usaha akan mengalami fase maju dan mundur, maka pebisnis harus konsisten dan terus bertaruh agar usaha yang dimiliki bisa maju kedepannya.
Siti Zahwa Derila 24006206 (25 JJ P. KWU 452 SN1-2 LM ONLINE)