Untuk yang suka STY Out, saya sarankan, jangan baca ini. Tulisan ini dikhususkan bagi yang tidak melupakan ketulusan STY yang melatih Timnas sampai disegani Asia.
Ada malam-malam yang gelapnya terasa lebih kelam dari biasanya. Ada berita yang menghempas hati, seperti gelombang dahsyat menghantam perahu kecil di lautan. Sabtu itu, jutaan rakyat Indonesia menangis dalam hening. Shin Tae-yong, sang pemimpi, sang pengubah takdir, mengucapkan selamat tinggal. Bagaimana caranya sebuah bangsa melepas seseorang yang telah membangunkan mereka dari tidur panjang? Bagaimana mungkin sebuah perpisahan terasa lebih pilu dari hujan yang turun di tengah musim kemarau?
Ia datang sebagai seorang asing, membawa cara berpikir yang mungkin terlalu maju untuk kami yang masih asyik menonton kekalahan sebagai rutinitas. Tapi ia, dengan segala daya dan pesonanya, mengubah wajah sepak bola negeri ini menjadi mimpi yang ingin terus kami saksikan. Kini, ia pergi.
“Terima kasih atas segalanya,” katanya, dengan suara yang mengandung berat dari ribuan cerita yang tak pernah tersampaikan. Mungkin ia ingin berkata lebih banyak, mungkin ia ingin meneriakkan semua kekecewaannya. Tapi ia memilih diam, karena seorang pahlawan tak perlu berkata-kata untuk dikenang.
Video perpisahan itu berdurasi tujuh menit, tapi rasanya seperti tujuh abad. Setiap kata dari stafnya, Yeom Ki-hun, Kim Jong-jin, Shin Sang-gyu, dan Yoo Jae-hoon, seperti pisau yang perlahan mengiris hati rakyat Indonesia. “Kami mencintai Indonesia,” mereka berkata. Namun apa artinya cinta, jika akhirnya hanya menjadi kenangan yang membakar jiwa? Lihatlah Shin Tae-yong di sana. Ia tidak hanya melatih sepak bola, ia menanamkan harapan. Harapan yang selama ini hanya menjadi dongeng sebelum tidur. Ia mengubah anak-anak muda kita menjadi prajurit, mengajarkan mereka arti sebuah perjuangan. Kini, ketika mereka telah siap bertarung, ia dipaksa meninggalkan medan perang.
PSSI menggantikannya dengan nama besar, Patrick Kluivert. Sebuah legenda dari tanah Eropa. Tapi, wahai takdir, adakah Kluivert tahu cara menahan air mata rakyat Indonesia ketika Garuda kalah? Adakah ia tahu bagaimana mengajarkan anak-anak desa untuk berlari seolah mengejar bulan? Shin pergi, tapi ia tidak pernah benar-benar pergi. Ia meninggalkan jejak di setiap sudut lapangan, di setiap hati yang pernah merasakan semangatnya.
Para pemain itu, mereka yang pernah mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dalam pelukan perpisahan, akan selalu mengingatnya. Bukan sebagai pelatih, tapi sebagai ayah, saudara, guru, dan pahlawan.
“Selamat tinggal, Indonesia,” kata Shin. Tapi apakah ini benar-benar selamat tinggal? Bukankah cinta tidak pernah benar-benar pergi?
Shin Tae-yong bukan sekadar nama. Ia adalah gelora di dalam dada jutaan rakyat. Ia adalah mimpi yang ditanamkan dalam doa-doa malam. Ia adalah api yang tidak akan pernah padam. Ketika suatu hari Indonesia berdiri di panggung Piala Dunia, suara jutaan rakyat akan memanggil namanya dalam tangis, Shin Tae-yong, ini untukmu.
Malam ini adalah malam patah hati. Tapi dari serpihan itu, kita akan membangun lagi mimpi. Shin tidak mengajarkan kita untuk menyerah. Ia mengajarkan kita untuk terbang, setinggi Garuda yang tak pernah gentar. (Rosadi Jamani)
2.30K
132