LIDAHRAKYAT - Setiap pagi, ketika Israel mengepung Gaza, sekelompok anak-anak Palestina dengan membawa panci, botol plastik, ember, bahkan kaleng cat kosong, bergerak di antara reruntuhan.
Misi mereka? Mencari cukup makanan untuk membantu keluarga mereka bertahan hidup satu hari lagi.
“Ini adalah pagi yang biasa bagi banyak orang yang tinggal di Gaza yang dilanda perang,” ujar produser NBC News, Ala’a Ibrahim, dalam narasinya di atas rekaman yang diambil bulan lalu di kota Rafah, Gaza bagian selatan. “Berdiri dalam antrean, dengan ember kosong, menunggu makanan.”
Pihak berwenang setempat melaporkan bahwa peluru dan pengeboman Israel telah menewaskan lebih dari 37.000 orang sejak pasukan Israel menyerbu wilayah tersebut sebagai hukuman terhadap Hamas atas serangan mematikan kelompok militan itu pada 7 Oktober di Israel.
PBB telah memperingatkan bahwa pada bulan Juli, lebih dari satu juta warga Palestina — setengah dari populasi Gaza — bisa menghadapi kelaparan jika pengiriman makanan tidak ditingkatkan. PBB juga menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang melawan warga sipil Palestina, tuduhan yang berulang kali dibantah oleh negara Yahudi tersebut.
Meski begitu, makanan telah menjadi "emas baru" di Gaza karena blokade Israel telah memperlambat pengiriman ke wilayah tersebut menjadi sangat sedikit di lima pintu masuk utama, menurut kelompok-kelompok kemanusiaan.
Amerika Serikat, dengan kerjasama dari Israel, telah membangun dermaga sementara yang disebut JLOTS (joint logistics over the shore) untuk memungkinkan pengiriman makanan dan pasokan lainnya masuk ke Gaza melalui laut.
Namun sejauh ini, pengiriman yang ada belum cukup untuk memenuhi permintaan. Dan pada hari Jumat, militer terpaksa membongkar dan memindahkan dermaga tersebut lebih jauh ke pantai ke kota Ashdod di Israel karena cuaca buruk, menurut seorang pejabat pertahanan AS kepada NBC News.
Di bagian utara Gaza yang paling parah terkena dampak, banyak penduduk bertahan hidup hanya dengan roti.