Minggu, 16 Februari 2025
lidahrakyat.com
id
en
LidahRakyat
LidahRakyat

Putri, Dalam Derap Barisan Aceh

Ceritera Pendek Lidah Rakyat

Oleh: Dewi Farah*
Kamis, 16 Januari 2025 119
LidahRakyat
Ilustrasi

            Pada suatu pagi yang cerah dipesisir pantai sebuah desa kecil, Putri, seorang gadis berusia 12 tahun, tengah bersiap-siap untuk pergi kesekolah bersama adiknya Bintang. Desanya terletak ditepi pantai dengan pemandangan laut yang menakjubkan. Setiap pagi suara deburan ombak menyambutnya saat ia melangkah keluar rumah.

           Putri tinggal bersama keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang adik laki-laki bernama Bintang yang berusia 7 tahun. Ayah putri adalah seorang nelayan sedangkan ibunya mengelola warung kecil ditepi pantai. Mereka adalah keluarga sederhana namun taat beribadah.

    Hari itu, langit tampak lebih biru dari biasanya dan angin berhembus sepoy nan lembut. Namun tanpa mereka sadari, tanda-tanda bahaya mulai muncul. Ikan-ikan dilaut berenang lebih dekat ke pantai dan burung-burung laut terbang rendah dengan gelisah tidak seperti biasanya. Orang-orang sekitar tepi pantai berbicara tentang suara gemuruh ombak dari kejauhan yang tidak biasanya.

         Ketika Putri dan Bintang siap untuk berangkat kesekolah dan ayah juga siap memikul jaring untuk dibawa keperahu, ibu menerima kabar dari radio bahwa sebuah gempa bumi besar baru saja terjadi ditengah laut. Maka ibu segera berlari keluar memanggil ayah, Putri dan Bintang. Memberi intruksi teriakan untuk bersiap-siap jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

    “Ayah.., Putri.., Bintang..., kembali kalian, jangan berangkat.”
    “Gempa bumi baru saja terjadi ditengah laut. Kembalilah...,” teriak ibu sekuat tenaga.

Ayah, Putri dan Bintang saling berpandangan dan segera berlari menghampiri ibu. Nampak mereka juga melihat penduduk sekitar pantai berlalri berhamburan. Mereka belum paham dan semakin penasaran secepat mungkin menghampiri ibu. Ibu yang dengan suara parau, panik tergopoh-gopoh memegang erat mereka.

    “Ayo, segera berlari kebukit, gempa bumi baru saja terjadi ditengah laut.” Ucap ibu
Ayah dengan sigap menggendong Bintang, memegang tangan Putri dan memberi isyarat ibu untuk bersamaan berlari kebukit. Mereka dan para penduduk sekitar berlalri sekuat tenaga mencari bukit tempat yang dirasa bagi mereka aman dari kejaran ombak Tsunami dan hantaman gempa. Namun gulungan dan tarian ombak begitu cepat menggilas mereka. Dalam hidungan detik, Putri lepas dari genggaman tangan ayah begitu juga dengan Bintang dan Ibu. Mereka terseret ombak tersedak lumpur pasir Tsunami. Dan merekapun bercerai berai.

       Sungguh gulungan ombak yang meninggi 30 meter, dan hantaman gempa dengan skala dahsyat telah merubah Kota Aceh menjadi hamparan lautan yang tak berbelas. Lempengan bumi dasar laut menggeliat. Ombak yang terlalu lama tak memiliki bahasa itupun bersatu dengan lumpur, memuncrat, mencoba dengan caranya untuk mengeluarkan segenap isi hatinya. Seperti sedang berbicara dan meraung.

          Dalam hitungan 30 menit saja semua harus tuntas dengan sempurna. Putri dalam ketidak sadarannya, ia melihat sebuah bayangan yang sebelumnya tidak pernah ia jumpai. Ya, hari itu Malaikat pencabut nyawa benar-benar sibuk. Seluruh titah segala perintah harus ia tuntaskan sesuai dengan cacatan dan daftar yang telah ia hafal dengan sangat sempurna. Dalam geraknya ia menyabit dan menebas-nebas apa saja yang ada dihadapannya dengan tampak sempoyongan. Ia seperti amat takzim atas perintah yang ia pikul. Maka, iapun tak berbelas, tak ada rasa iba dalam jiwanya maka, iapun menuntaskan dan menyabit segalanya tak tersisa.

         Pesisirku, Acehku tempat dimana aku dilahirkan, bersenandung rindu bersama keluarga telah menjadi sayu. Ujung pulau negeri ini telah tersapu oleh gelombang lautnya sendiri. Kini Aceh dalam tatapan Putri, adalah kota dengan segala kemegahannya telah menjadi masa lalu yang begitu jauh.

         Putri dalam segenap kesadarannya yang bermata merah dadu dengan tangan kanannya yang nyaris buntung, berusaha merangkak mendekati seorang ibu paruh baya yang tubuhnya telah rusak akibat tertindih terumbu karang yang dimuntahkan samudera. Dengan derai air mata serta cucuran darah Putri sangat berharap bahwa wanita itu adalah ibunya.
.
“Ummi! Ummi .., ini Putri! Mengapa engkau tidak bergerak Ummi?”

Belum sempat ia menyeka iar matanya. Putri kembali menangkap bayangan berkelebat menyabit begitu cepat diatas ubun-ubun perempuan yang terbujur kaku itu.

“Tuan .., Tuan.., kau siapa?”

Dengan suara lantang menggelegar, bayangan itupun menjawab.

“Aku Malaikat, apakah kau melihat rahasiaku?”
“Ya, Tuan! Tuan Malaikat, aku Putri! Mengapa Ummiku tidak bergerak Tuan?”

Malaikat tak menyahut, ia kembali berkelebat seperti bayang-bayang yang pertama kali Putri lihat. Rupanya Malaikat sedang sibuk menyabit yang belum tersabit. Suara ribuan manusia menjerit, mayat-mayat rusak bergelimpangan. Ombak kian meninggi sepuluh meter, segenap bangunan roboh, segenap paru-paru tersedak lumpur pasir dan segenapnya hanyut dan rata tinggal puing yang terombang-ambing. Kini, kota Aceh tak lagi tahu siapa yang kaya dan siapakah yang tak kaya, siapa yang kuat dan siapakah yang tak kuat, segenapnya menjadi serupa dan berwajah sama.

“Tuan! Tuan Malaikat..., Tunggu ..!”

Bayangan itu tak menghiraukan panggilan Putri, seolah ia sedang memperhitungkan waktu. Maka iapun tak mendengar dan tak ingin lupa dari daftar yang telah ia terima tak satupun terlewatkan, semuanya harus segera dituntaskan.

“Tuan Malaikat, tunggu! Mengapa Ummiku tidak bergerak? Engkau belum menjawabnya Tuan!”
“Aku sedang bertugas, manusia kecil”
“Kumohon, berhentilah sejenak Tuan! Lihatlah Ummiku”

Ia menatap begitu pekat. Suaranya yang terdengar serupa butiran-butiran lembut yang jatuh namun begitu bening.

“Ummimu bertugas, Putri! Gempa dan amukan ombak ini sedang melangsungkan tugasnya. Hari ini semua bertugas.”
“Kota ini Tuan?”

Malailat pencabut nyawa itu, tiba-tiba terdiam tak bergeming. Ia terdiam seperti sedang menimbang sesuatu. Kedua matanya yang perak tajam menatap lengan Putri yang terus mengucurkan darah dan nyaris buntung.

“Tuan, kota ini apa bertugas?”
“Kumohon jawablah tentang kota ini Tuan Malaikat?”

Dengan kucuran keringat dan suara yang semakin parau akibat menahan sakit Putri meminta malaikat  menjawab pertanyaannya.

“Baiklah, manusia kecil. Kota ini bertugas.”
“Kota ini Aceh Tuan! Mengapa selalu Aceh yang bertugas?”
“Dengarlah manusia kecil. Tak banyak manusia berani bertugas untuk memilih Allah atau hidup didunia. Tak banyak pula manusia memiliki tugas mencintai hasratnya sendiri untuk kerumah Allah diatas cintanya kepada dunia. Dan kotamu ini memang sepetak taman bagimu, akan tetapi Aceh telah dibantu memilih bertugas.”
“Tugas lagi?”
“Ya, sebuah tugas untuk membentuk barisan!”
“Barisan? Barisan apa, Tuan?”

Akan tetapi Malaikat kembali membaca daftar dan dengan amat gesit ia menyabit kembali. Semua yang ada dikota Aceh tersabit sesuai daftar dan yang terjadi ialah jalan-jalan trotoar, masjid-masjid, lapangan itu, kini kota itu telah penuh dengan anak-anak, orang tua, lelaki, perempuan semua penuh dengan mayat.
Sambil menutup telinga dengan tangan kirinya, Putri berteriak lantang.

“Cukup! Cukup Tuan! Kumohon hentikan, hentikan Tuan!”
“Wahai manusia kecil, waktuku hampir habis, sedangkan barisan belum terbentuk.”
“Katakan padaku, barisan apa Tuan!”
“Barisan menuju rumah Allah, manusia kecil!”
“Rumah Allah?”
“Yaaa.,”
“Apakah Ummi, Ayah dan adikku Bintang juga ada dalam barisan itu?”
“Tentu manusia kecil”

Putri menelan ludah, dan iapun tak lagi meringis kesakitan. Ia justru menatap kembali perempuan paruh baya yang terbujur kaku dan diam itu. Akan tetapi kedua matanya telah berubah serupa purnama yang merajai bulan. Putri dengan harapan besar kembali menggoyang tubuh perempuan yang terbujur kaku itu.

“Ummi, Ummi ini Putri! Kata Tuan Malaikat, Ummi akan berada dalam barisan itu bersama Ayah dan juga Bintang! Kau terpilih Ummi. Kau terpilih!”

Kemudian Putri berteriak lantang.
“Tuan Malaikat! Tuan Malaikat, ini Putri! Aku keturunan Cut Nyak! Akulah Aceh itu! Lihatlah dalam daftarmu, sabit aku .., sabit aku ...”

Hari ini, tepat tiga puluh menit untuk pertama kalinya malaikat tersenyum melihat sebuah nama pada daftar terakhir. Ia menatap langit-langit, dan seorang anak kecil sedang berderap-derap memimpin barisan yang amat panjang. Putri, Ibu, Ayah dan Bintang sudah berada dalam daftar barisan panjang itu. Kota Aceh dan mereka adalah orang terpilih menuju rumah Allah. Putripun tersenyum atas tugas Tuan Malaikat yang dituntaskan dengan sempurna atas titah Yang Maha segalaNya.

Madura, 13 Des 2024
---------------------------------------
Cerpen dibuat dari gubahan puisi Lintang Sugianto

*Tentang Penulis

Dewi Farhah Pengajar Bahasa dan Sastra di Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep Madura Jawa Timur Indonesia 2007-2011, Pendiri Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini sekaligus Kepala Sekolah (PAUD Ar Rahmah Nurul Hidayah) Ds. Lembung Kec. Galis Kab. Pamekasan sejak 2012-sekarang, Pengurus Himpaudi Kec. Galis sejak 2014-sekarang

Koordinator Pusat Angkatan ’18 (Artzhevant) TMI Pi Al-Amien Prenduan Sumenep Madura Jawa Timur Indonesia

Ibu dari 5 orang anak dan Ibu Manager Area Pamekasan KSPPS BMT NU JATIM sejak Tahun 2016 - Sekarang

Komentar
Silakan lakukan login terlebih dahulu untuk bisa mengisi komentar.
LidahRakyat