Minggu, 19 Januari 2025
lidahrakyat.com
id
en
LidahRakyat
LidahRakyat

Layar Datar, Dunia Terbenam

Kumpulan Puisi Leni Marlina (PPIPM-Indonesia, Satu Pena Sumbar)

Oleh: Leni Marlina*
Rabu, 8 Januari 2025 109
LidahRakyat
Ilustrasi
Ilustrasi Puisi Leni Marlina "Layar Datar, Dunia Terbenam". Sumber Gambar: Starcom Indonesia's Artworks No. 925-12 Assisted by AI.

/1/
Layar Datar, Dunia Terbenam


Di ruang tamu bercahaya palsu,
layar menyulam kisah anak-anak kering,
mengais serpihan hidup di tanah pecah,
di bawah roket yang berdesir bagai sumpah maut,
sementara di meja kalian, lingkar donat
berputar, orbit tanpa makna.

Kota-kota tenggelam dalam abu dan nyala,
jerit bayi bercampur derak tembok luruh.
Namun gelak kalian, seperti air mancur plastik,
tak pernah kering, terseret sinetron murahan,
soda berbuih yang membiayai peluru
di dada yang tak pernah kau kenal.
Tidakkah kau sadar, layar itu jendela jiwa?
Tangan kecil yang terbakar itu,
adalah serpihan dari tubuh semesta kita.

Di aula rapat berlapis emas,
perdebatan bagai boneka tali,
janji mengalir seperti sungai darah,
tanpa hulu, tanpa muara.
Di Gaza, Damaskus, Yaman—
tanah kehilangan nama,
di mana pedih jadi bahasa ibu.

Kalian menyanyi, kalian bersulang,
sementara dunia retak seperti cermin tua,
pantulan wajah kalian pun remuk
di antara sisa-sisa tubuh yang diam.
Apakah rasa sudah terkubur,
bersama tanah merah yang kalian sebut "kemajuan"?

Di balik kabut gas dan debu bangunan,
keganasan merangkak bagai ular lapar,
membelit nurani yang kini membatu.
Namun kalian tetap tertawa,
bercanda tentang perang seperti lelucon malam,
seakan bara di luar hanya lampu pesta.

Apakah mata kalian ditutup kain emas?
Ataukah kalian sengaja buta,
membiarkan nyawa menjadi angka,
dan darah menjadi tinta pada laporan keuntungan?
Bagaimana kalian bisa bernapas,
sementara udara ini berat oleh arwah
yang menggantung seperti jaring laba-laba?

Mungkin inilah waktu untuk bertanya:
Dari mana kerakusan ini bermula,
dan kapan tangan serakah berhenti menjadi serigala?
Kapan kita bisa menghentikan pencuri  yang merampas mimpi dan masa depan, dari pemilik tangan kecil yang bahkan belum sempat
belajar merangkai doa.

Padang, Sumbar, 2023


/2/
Dunia yang Terkoyak


Di ladang kehancuran yang tak bertuan,
jiwa-jiwa menjadi debu,
berserakan di antara puing-puing mimpi yang runtuh.
Langit berteriak, bukan dengan kata-kata,
tetapi dengan letusan roket dan deru peluru,
menghapus jejak senyuman bocah-bocah yang dulu.

Asap menjadi tirai penutup,
menyembunyikan jerit dari mata dunia,
sementara meja-meja megah
dipenuhi gelas anggur dan obrolan kosong.
Di balik layar kaca,
pertempuran menjadi hiburan,
dan derita menjadi sekadar cerita untuk dilupakan.

Kota-kota yang hancur bukan sekadar tempat,
tetapi tubuh dari peradaban kita sendiri.
Gaza, Yaman, Aleppo—
nama-nama yang menjadi luka terbuka,
sementara kita duduk di atas takhta kenyamanan,
melupakan bahwa kemanusiaan
adalah jiwa yang tercerai-berai.

Apa arti pidato di aula berlampu gemerlap,
jika di sana hanya ada gema janji kosong?
Apa guna statistik dan resolusi,
jika tubuh-tubuh kecil terkubur
tanpa ada yang bertanya siapa mereka?
Dunia ini, yang dulu penuh warna,
kini berubah menjadi kanvas abu
yang dilukis dengan darah.

Kita adalah penonton,
menyaksikan tragedi seperti opera murahan,
tertawa, menangis, lalu lupa.
Kita adalah tangan yang memegang remote kontrol,
memilih diam di hadapan kebohongan,
mengizinkan kematian berjalan bebas
seperti angin yang tak terlihat.

Dunia tidak hanya terbakar oleh perang,
tetapi juga oleh keserakahan yang mengakar.
Kita merobek peradaban kita sendiri,
membiarkan rasa kemanusiaan menjadi bayang-bayang,
membiarkan nurani terbungkus
oleh lapisan ego dan ketamakan.

Tapi tidak semua harus lenyap.
Bangkitlah, kita semua, manusia!
Jadilah suara yang melawan kezaliman,
jadilah cahaya yang menusuk kabut kebohongan.
Jangan biarkan bumi ini
menjadi epitaf yang hanya dibaca angin.
Hidupkan lagi peradaban ini
dengan cinta yang lebih kuat dari perang,
dengan harapan yang lebih tajam dari peluru.

Karena meskipun abu telah menutup matahari,
di balik debu masih ada kehidupan,
untuk kita nikmati bersama dalam keadilan.


Padang, Sumbar, 2023

/3/
Goresan di Tanah Merah



Kami hanya anak-anak kecil,
berlarian di tanah merah yang tercemar gelap,
di sana, tak ada jejak kaki, hanya bekas air mata
yang mengendap di pori tanah.
Bumi ini bukan milik kami lagi,
namun di sini kami berdiri,
menantang dunia yang ingin memadamkan harapan.

Jari-jari kami menggenggam tanah yang terluka,
menulis kisah kami dengan debu dan darah.
Langit terbelah,
tetapi kami—anak kecil ini—
berjanji takkan membiarkan keserakahan
menghapus nama kami dari sejarah ini.


Padang, Sumbar, 2022

/4/

Di Mana Mama?



Debu mengaburkan dunia,
dan aku berdiri di tengahnya,
mata kecilku mencari bayang mama.
"Tunggu aku," bisikku pada angin,
tapi ia hanya membawa hembusan dingin.

Di mana mama?
Di mana senyuman yang dulu menghangatkan malam?
Di sini, di antara reruntuhan ini,
aku melangkah tanpa arah,
berharap dapat menemui jejaknya
dalam jejak yang telah hilang.

Setiap dentuman di luar sana
seperti lubang yang menghisap hatiku,
tetapi aku terus mencari,
menggali tanah ini,
hingga aku menemukan suara yang hilang,
dan nama yang terbungkam dalam debu.


Padang, Sumbar, 2022


/5/
Langit yang Terpecah


Langit itu dulu penuh peluk dan senyum,
ketika ibu berkata, "Lihatlah, anakku, dunia ini indah."
Sekarang, langit itu pecah,
seperti cermin yang tak bisa direkatkan lagi.
Aku menatapnya—
tetapi hanya menemukan serpihan-serpihan waktu
yang terbang mengelilingi kepalaku.

Ada kematian di udara,
dan dalam kepalaku,
aku menyimpan satu-satunya harapan:
menyusun kembali langit ini,
di tangan anak-anak yang tak tahu
apa itu perang.

Padang, Sumbar, 2022

/6/
Di Balik Puing-Puing Itu


Di sini kami berdiri,
di balik puing-puing yang terhempas,
seperti dunia yang dihancurkan oleh tangan-tangan besar.
Namun, kami, anak-anak ini
melihat masa depan di balik reruntuhan.
Karena di balik semuanya,
ada ruang untuk bermain,
ada tawa yang ingin aku dengar kembali.

Bukan hanya puing-puing yang tersisa,
tapi ada kekuatan yang tumbuh dalam diri kami,
anak-anak yang tak tahu kalah,
yang akan membangun kembali dunia
di antara dinding yang pernah runtuh.

Padang, Sumbar, 2022

/7/
Cerita dalam Sunyi


Kami, dalam sunyi malam,
bercerita pada bintang—
tentang mereka yang hilang,
tentang dunia yang terpecah,
tentang ayah yang tak pulang,
tentang ibu yang berpulang.
Kami berbisik pada bintang,
cerita kami tak akan terlupakan.

Malam tak lagi gelap,
karena cahaya kami—
anak-anak yang telah kehilangan dunia
—akan membakar kegelapan dengan cerita kami.
Dengan suara yang terdengar hanya dalam hati,
kami adalah sejarah yang terabaikan,
yang tak pernah mati,
selama ada yang mendengarkan.

Padang, Sumbar, 2022.

*Tentang Penulis

Biografi Singkat

Kumpulan puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina tahun 2022. Puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital tahun 2025.

Leni juga merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat sejak berdiri tahun 2022. Selain itu, ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair dan Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Leni pernah terlibat dalam Victoria's Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.

Leni juga mendirikan dan memimpin komunitas digital / kegiatan lainnya yang berfokus pada bahasa, sastra, literasi, dan sosial, di antaranya:

1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community
3. PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat), the Poetry Community of Indonesian Society's Inspirations: https:// shorturl.at/2eTSB; https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community
6. Literature Talk Community
7. Translation Practice Community
8. English Languange Learning, Literacy, Literary Community (EL4C)

Komentar
Silakan lakukan login terlebih dahulu untuk bisa mengisi komentar.
LidahRakyat