Minggu, 19 Januari 2025
lidahrakyat.com
id
en
LidahRakyat
LidahRakyat

Syekhah Rahmah El Yunusiyyah, Muslimah di Minangkabau Mendahului Zamannya

Cerita Muslimah di Zamannya

Oleh: Zakia Aini*
Rabu, 8 Januari 2025 46
LidahRakyat
Dok. Pribadi

Rahmah El Yunusiyyah lahir pada pagi hari Jum’at, 1 Rajab 1318 H, bertepatan dengan 20 Desember 1900 M di kenagarian Bukit Sarungan, Padang Panjang, Sumatera Barat. Dari lima bersaudara kandung, Rahmah adalah anak yang paling kecil. Saudaranya yang tertua Zainuddin Labay (1318-1242H/1890-1924M), seorang ulama muda pembaharu sistem pelajaran dan pendidikan di Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus juga ulama terkenal dimasanya dan Ibunya bernama Rafi’ah. Masa kecilnya Rahmah terkenal sebagai anak yang keras hati, berkemauan kuat dan bercita-cita tinggi. Kehendaknya pantang dihalangi. Dia sanggup menangis berjam-jam apabila keinginannya tidak terpenuhi. Sejak kecil kepribadinnya yang kuat dan jiwa besarnya sudah tampak menonjol.

Rahmah tidah pernah mendapatkan pendidikan formal. Menulis dan membaca huruf Arab dan  Latin dipelajarinya dari kedua kakaknya Zainuddin dan Muhammad Rasyad. Kedua kakaknya setelah belajar pada sekolah Gubernemen menjadi murid dari Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Payakumbuh (wafat 1957). Tahun 1915 kakaknya Zainuddin labay mendirikan Diniyyah School, sebuah perguruan Islam dengan sistem Modern, Rahmah ikut belajar pada sekolah yang baru didirikan. Pelajaran diperolehnya sebelumnya dari kedua kakaknya dan banyak membaca buku-buku yang dikarang Zainuddin Labay, banyak menolong untuk dapat mengikuti pelajaran pada Diniyyah School yang sistemnya ko-edukasi, karena otaknya memang cemerlang dan dia adalah anak yang cerdas. Apa yang diperolehnya dari Diniyyah School tidak memuaskan hatinya, sehingga sore hari ia belajar lagi dalam masalah agama Islam untuk lebih mendalam kepada Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Haji Rasul), Ayah dari Almarhum Buya Hamka, yang mengajar di Surau Jembatan Besi dan bertempat tinggal di Gatangan. ( Aminuddin Rasyad, Leon salim & Isnaniah Saleh, Rahmah El Yunusiyyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah, 2023)

Rahmah bersimpuh dengan takzim, dadanya serasa akan meledak karena gembira. Keinginannya sejak dua tahun belakangan, kini telah diberikan izin. Sejarah baru mulai dipakukan pada tiang besar sejarah Minangkabau. Kisah baru, ada ayam betina yang berkokok, sebuah kokok yang lantang, di tengah kokok ayam jantan yang riuh. Ia direstui untuk mendirikan sekolah perempuan muslimah pertama di Hindia Belanda. Ia sudah lama muak dengan kuasa laki-laki atas perempuan, kuasa pejabat atas kaumnya dan suara-suara serta tindakan yang merendahkan dan melecehkan kaumnya. Tak ada yang mau menolong, yang ada hanya memupuk hegemoni kaum pria. Bicara terlalu panjang tak boleh. Ia setuju-setuju saja dengan sumbang duo baleh, buatan adat Minangkabau yaitu imbaun moral untuk perempuan. Satu yang benar-berar tak ia sukai: Sumbang Karajo, yaitu perempuan hendaklah bekerja untuk yang ringan-ringan saja. Pekerjaan berat dan kasar diserahkan pada kaum lelaki.

Rahmah berpikir harus ada sekolah khusus perempuan muslimah. Ia meminta izin kepada kakanya Zainuddin. “Saya mau mendirikan sekolah khusus perempuan, khusus muslimah saja. Saya harus mulai dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya. Jika kakak bisa, kenapa saya, adiknya tidak bisa? Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa? Jika kakak izinkan, saya akan mendirikan sebuah sekolah, khusus untuk perempuan Minagkabau dan Perempuan Islam pada umumnya dari mana pun mereka berasal. Kaumku sudah lama tertindas, sementara tiap sebentar saya dengar perempuan adalah tiang Negara, di mana akan ada Negara kalau tiangnya rapuh? Al mar’atu imadul bilad. Selama ini kami dijadikan subyek saja, selama ini pula kami nyaris tidak dianggap, kecuali untuk dinikahkan. Kami menjadi pelengkap saja sampai ajal menjemput. Kami harus pasrah, apupun yang terjadi”. Zainuddin tersenyum. Bangga pada Rahmah berkata “Bismillah saya izinkan, saya dukung, tapi kau jangan setengah hati. Allah bersamamu, Berjihadlah.” (Khairul Jasmani, Rahmah El Yunusiyyah, Perempuan Yang Mendahului Zaman, 2020).

Tekad yang sudah bulat kemudian disampaikan oleh Rahmah kepada kawan-kawan putrinya dalam organisasi PMDS (Persatuan Murid-Murid Diniyyah School) didirikan tahun 1922 di mana Rahmah juga duduk sebagai Ketua dan anggota pengurus dari bagian puterinya. Secara aklamasi teman-taman Rahmah menyetujui dan mendukung ide yang mulia ini dengan segala resiko yang mungkin terjadi. Maka pada tanggal 1 November 2023 di kota Padang Panjang yang terletak antara Marapi dan Singgalang, diapit gunung Tandikek dan Bukit Tui berdirilah sebuah ruang pendidikan agama khusus untuk anak-anak perempuan dan yang pertama di Sumatera, bahkan di Indonesia yang diberi nama “Almadrasatul Diniyyah” atau Meisjes Diniyyah School (Sekolah Diniyyah Agama Puteri) yang dipimpin langsung oleh pendirinya Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah.

Sekolah yang baru dibuka ini belum mempunyai gedung sendiri. Dengan bertempat di robat Masjid Pasar Usang (Sekarang Masjid Ashliyyah) Padang Panjang dimulailah sekolah dengan 71 orang murid yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga dan beberapa orang putri remaja. Kehadiran  Almadrasatud Diniyyah pada mula berdirinya tidak mendapat sambutan yang menggembirakan dari masyarakat, malah ejekan dan cemoohanlah yang diperdengarkan kepada “bayi” yang baru lahir ini. Jalan yang tidak mulus, penuh kerikil tajam terbentang di muka wanita muda yang berhati baja ini. Tantangan demi tantangan dihadapi tidak saja oleh Rahmah, tetapi juga oleh murid-murid sekolah itu.
Pada tahun 1931 di Padang Panjang diadakan satu permusyawaratan besar dari guru-guru agama Islam se Minangkabau yang berada di bawah panji-panji politik Permi (Persatuan Muslim Indonesia). Musyawarah besar bermaksud hendak menyatukan tenaga ke luar dan ke dalam dari perguruan-perguruan Islam. Ke luar hendak mengadakan kekuatan menentang rencana ordonasi sekolah liar (partikulir), dan ke dalam untuk menyatukan pelajaran-pelajaran sekolah Islam di bawah perlindungan satu badan yang diberi nama: “Dewan Pengajar Permi”. Rahmah bersama guru-gurunya meminta “Biarlah perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggung jawab orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan menanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya”. Inilah pendirian pengurus dan guru-guru dari Diniyyah School dan Almadrasatud Diniyyah yang tetap dipertahankan sepanjang masa. ( Aminuddin Rasyad, Leon salim & Isnaniah Saleh, Rahmah El Yunusiyyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah, 2023)

Doa yang senantiasa dibaca Rahmah “Ya Allah ya Rabbi, bila dalam Ilmu-Mu apa yang menjadi cita-citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku, terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah ya Allah jalan menuju cita-citaku ini, Ya Allah berikanlah yang terbaik untuk hambamu yang lemah ini. Amin.” Lalu apa resep Rahmah? Al-Qur’an Surat Muhammad ayat 7: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu pula.” Ia teramat percaya akan janji Allah.

Kisah buruk dimulai Selasa, 17 Maret 1942. Jepang memasuki Kota Padang. Ratusan perempuan tak cukup bagi tentara Jepang. Lalu perempuan Minang diiming-imingi untuk dipekerjakan dengan gaji ‘menyenangkan’. Ketika situasi semacam itulah anak gadis urang awak diintai Jepang. Maka dibuatlah Rumah Kuning, istilah rumah bordil di Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Pada saat itu muncul sebuah organisasi bernama Anggota Dewan Ibu (ADI) Sumatera Tengah. Tujuannya untuk membela kaum perempuan agar tidak dijadikan budak nafsu Jepang. Rahma menjadi anggota organisasi tersebut. ADI seperti dilecut dengan rotan melihat kaumnya diazab Jepang. Malam-malam jahanam berlangsung tanpa seorang pun bisa mencegahnya. Inilah yang di protes Rahmah ke Bukittinggi, ia mendesak agar Rumah Kuning segera ditutup, sebab daerah ini bukan tempat pelacuran. Tak mangkus, bahkan Rahmah ditantang, sebab belum lama orang yang sama sudah membuat malu pasukannya di Medan, sekarang di Bukittinggi pula. Yang terjadi, Rahmah bukan surut tapi semakin bagak saja. ADI mendesak Jepang dengan mengeluarkan pernyataan: Pemerintah Jepang di Indonesia harus segera menutup Rumah Kuning  di negeri ini. Pernyataan yang terus menerus dipropgandakan itu, membuat Jepang melemah. Rumah Kuning ditutup dan perempuan Minang tak lagi dijadikan budak nafsu. Jepang mendatangkan gantinya dari Singapura.

Menurut konsep Rahmah, Ibu tak lain adalah sekolah. Jika Ibu baik, maka anaknya akan baik dan sebaliknya. Salah satu poin penting bagi calon Ibu adalah pendidikan agama. Itu kini yang amat terganggu. Ia ingin sekolahnya segera berjalan seperti biasa, namun keadaan sedang ganjil. Ganjil karena Jepang memaksa kehendak, memperalat Indonesia untuk perang yang membuat tentaranya pun telah terlihat lelah. Keganasan Jepang benar-benar tak tertanggungkan, dibandingkan Belanda yang 3,5 abad sekalipun. Tak ada celah, yang ada harus kooperatif sebagaimana dipilih Soekarno dan Muhammad Hatta, sembari terus mencari cara untuk merdeka.

Suasana hening tepian telaga Dewi di puncak Gunung Singgalan, semua mata tak berkedip. Lebih dari 350 tahun menunggu, kini saatnya telah tiba. Bendera Merah Putih yang baru saja dijahit itu, dikerek ke puncak tiang di halaman perguruan Diniyyag Puteri, Padang Panjang pada 20 Agustus 1945. Ini hari yang tumbuh dengan segar di tanah kemerdekaan, hari dimana sejarah memberi tunas baru pada pucuk di batang tua berdaun rimbun, bernama Indonesia. Hening, tegang, setegang rasa yang tak pernah dirasakan oleh siapun sebelum ini. Ketegangan dimulai tatkala pemimpin perguruan, Rahmah El Yunusiyyah, meminta sipapun saja yang ada di sekolah dan di asrama segera berkumpul. Sebuah kabar baik akan diumumkan. “Anak-anak sekalian baru saja tadi malam saya bertemu dengan  Engku Sjafe’i dan para tokoh di rumah Engku dokter Rasyidin. Engku Sjafe’i memberitahu, bangsa kita, telah merdeka. Indonesia Merdeka”! Rahmah kembali membuat sejarah. Ia orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di Padang Panjnag secara resmi.juga di Sumatera , mungkin. (Khairul Jasmani, Rahmah El Yunusiyyah, Perempuan Yang Mendahului Zaman, 2020).

Rahmah adalah seorang idealis. Cita-citanya tinggi, cakrawala pandangannya jauh di depan beliau menginginkan kedudukan kaum wanita dalam masyarakat tidak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak-anak dan keturunan semata, lebih dari itu menginginkan terangkatnya derajat kaum wanita ke tempat yang lebih wajar dan pantas. Mereka harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai anggota masyarakat. Kaum wanita harus dapat menjalankan perannya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam. Semua yang harus diketahui oleh kaum wanita itu tidak bisa terjadi secara serta-merta. Semuanya harus dipelajari, serta harus dipahamkan dan dirasa-rasakan kepada kaum wanita itu. Selama mereka berselimutkan kebodohan dan kejahilan, maka nasib kaum wanita itu tidak akan berubah. Oleh karena itu, Beliau berpendapat bahwa wanita itu harus bersekolah, sebagaimana kaum pria bersekolah. Hak untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan berpendidikan antara pria dan wanita adalah sama. Beliau tidak menginkan putri-putri Indonesia hanya mendapatkan pendidikan sekolah yang rendah saja, mengharapkan wanita juga diberi kesempatan melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan jenjang pendidikan yang ada. Oleh karena itulah dari tahun ke tahun Rahmah selalu memikirkan peningkatan dan penyempurnaan mutu perguruannya.

Bermula dari mendirikan pendidikan Al-Qur’an, sekolah Diniyyah untuk anak-anak putri, Sekolah Menyesal untuk ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan sekolah, Freubel School (Taman Kanak-Kanak), Junior Institut (Setingkat HIS). Diniyyah Putri yang masa belajarnya selama 7 tahun (Ibtidaiyyah 4 tahun, Tsanawiyyah 3 tahun) kemudian berkembang dengan didirikan tingkat pendidikan guru yang diberi nama Kulliayyatul Mu’allimat al-Islamiyyah dengan masa belajar 3 tahun (1937). Pada tahun 1964 Rahmah mulai merintis terwujudnya cita-cita mendirikan Universitas Islam Wanita, maka pada tahun 1967 diresmikan berdirinya Fakultas Tarbiyah dan Dakwah Perguruan Tinggi Diniyyah Putri oleh Bapak Drs. Harun Zein, Gubernur Sumatera Barat waktu itu.

Landasan ideal dari pelaksanan cita-cita Rahmah itu adalah “Al-Quran dan As-Sunnah”. Untuk menjadikan seseorang berimankan Iman Islam, berakidahkan Akidah Islam dan berbudi pekerti Akhlak Islam, haruslah mendidik dan mengajarkan semua hal itu kepadanya melalui pendidikan kitab suci Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Untuk mencapai cita-citanya itu Rahmah berjuang melalui pendidikan dan Dakwah. Pendidikan diberikan melalui Lembaga Pendidikan Diniyyah putri yang beliau dirikan dan pimpin sejak 1 November 1923. Di samping itu, Dakwah kepada masyarakat beliau laksanakan secara langsung serta mengikut sertakan pelajar-pelajar yang telah mengikuti latihan-latihan pidato dan dakwah di perguruan tersebut. ( Aminuddin Rasyad, Leon salim & Isnaniah Saleh, Rahmah El Yunusiyyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah, 2023)

Pada bulan Juni 1957 Rahmah berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah Haji, serta diundang untuk mengunjungi  beberapa negara di Timur Tengah, antara lain ke :Syiria, Libanon, Yordania, Irak dan Mesir. Di Kairo dalam suatu sidang senat terbuka perguruan tinggi Islam tertua di Mesir, Universitas Al-Azhar Rahmah dianugerahi  gelar kehormatan “Syaikhah” yang selama ini belum ada atau belum pernah diberikan kepada seseorang wanita negara lain, bahkan wanita Mesir sendiri.

Diniyyah Puteri telah mempertautkan Indonesia dan Malaysia sejak negeri ini belum bernama itu. Rahmah telah menyebarkan pengajaran Islam ke sana sejak lama, sendirian, di zaman penjajahan pula, jika merujuk pemberian alasan gelar Syekhah oleh Universitas Al-Azhar kepadanya, yaitu sebagai  pendiri sekolah muslimah pertama di Indonesia dan juga di Al-azhar yang khusus perempuan belum ada. Rahmah tidak tahu dan tidak mau tahu itu, karena ia hanya mendidik perempuan agar tidak dibelenggu oleh penafsiran agama yang dikuasi kaum pria. Sepanjang sejarahnya, di sini, di Minangkabau juga di Indonesia memang dialah wanita pertama yang mendirikan sekolah khusus muslimah. Selebihnya adalah pria, menjadi ulama terkemuka dan ahkan pemuka bangsa, sebaga bangsawan. Rahmah sendiri mengepakkan sayapnya, merobek langit keangkuan dominasi maskulin. Sendiri. Dialah ayam betina yang berkokok itu. Dia mendahului zamannya. (Khairul Jasmani, Rahmah El Yunusiyyah, Perempuan Yang Mendahului Zaman, 2020)

Dari penjelasan di atas penulis sangat mengagumi sosok panutanku Syekhah Rahmah El Yunusiyyah karena sudah berusaha untuk memperjuangkan hak-hak dan kemerdekaan kaum perempuan muslimah juga bangsa Indonesia, walaupun pada kenyataannya banyak yang ingin menjatuhkan dan menghentikan langkahnya. Melalui Perjuangan dan kerja keras pantang menyerah Beliau, kita generasi muda harus mengambil hikmah dan pembelajaran dengan cara menerapkan semangat belajar dan memperjuankan pendidikan juga pemikiran yang terbuka. Seperti memiliki pandangan dan tindakan yang berdasarkan ajaran Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Penerapannya sangat dibutuhkan di zaman sekarang. Karena banyak sekali di kalangan genarasi muda sekarang tidak mengetahui dan memahami sosok hebat dalam sejarah peradaban Indonesia. Penulis hormat dan bangga Syekhah Rahmah El Yunusiyyah adalah putri Minangkabau yang sudah berhasil berjuang menorehkan eksistensinya sebagai putri daerah Sumatera Barat yang luar biasa dan semoga generasi muda banyak belajar dari tokoh pahlawan wanita Syekhah Rahmah El Yunusiyyah


*Sekretaris Jurnal Belief Tinggal, Guru Agama Islam, Tinggal di Bukittinggi

Tags
Komentar
Silakan lakukan login terlebih dahulu untuk bisa mengisi komentar.
LidahRakyat