"Kritik yang benar adalah pedang yang tajam, tetapi digunakan untuk memotong kebatilan, bukan untuk melukai kehormatan."
Ekspresi pemikiran, baik melalui kanvas seorang seniman maupun narasi satir seorang pemikir, adalah manifestasi kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E UUD 1945. Seni dan tulisan adalah dua bentuk ekspresi yang berbeda, tetapi sama-sama memiliki daya untuk menyampaikan kritik, membuka kesadaran, dan mengubah tatanan sosial. Namun, dalam menghadapi penguasa yang melanggar etika atau hukum, muncul pertanyaan moral: apakah kritik yang disampaikan dengan cara tak beretika dapat dibenarkan?
Kritik sebagai Pilar Kebebasan Berpendapat
Kritik pada hakikatnya adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Ketika penguasa melanggar etika atau hukum, kritik menjadi senjata masyarakat untuk meluruskan arah kekuasaan. Namun, perlawanan yang tidak beretika justru berisiko merusak legitimasi moral kritik itu sendiri. Kritik yang kehilangan etika tidak lagi membangun, melainkan hanya menjadi balas dendam emosional yang memperpanjang konflik.
"Melawan kekeliruan dengan kekeliruan hanya melahirkan lingkaran gelap yang tak berujung; kebijaksanaan lahir dari keberanian mempertahankan etika meski dalam keputusasaan."
Siklus balas membalas hanya akan berakhir ketika salah satu pihak memilih untuk mengutamakan kebijaksanaan daripada emosi. Dalam hal ini, dua langkah penting harus dilakukan:
1. Penguasa harus membuka ruang dialog, mendengar kritik tanpa defensif, dan bertindak berdasarkan prinsip keadilan. Kekuasaan yang bijak tidak takut pada kritik, melainkan menggunakannya sebagai cermin untuk perbaikan.
2. Pengkritik harus menjaga integritas moralnya, memastikan bahwa kritik disampaikan tanpa kebencian pribadi dan berlandaskan fakta, logika, serta nilai universal.
Seni dan tulisan, sebagai media kritik, harus tetap berakar pada moralitas. Ketika kritik terhadap penguasa dilandasi oleh fakta dan disampaikan dengan cara yang tetap menjaga martabat manusia, maka kritik tersebut tidak hanya menjadi alat perlawanan, tetapi juga suara keadilan yang sulit dibungkam. Namun, ketika cara tak beretika digunakan untuk melawan yang tidak etis, maka batas antara yang benar dan salah menjadi kabur. Dalam situasi itu, masyarakat tidak lagi tahu siapa yang harus didukung karena keduanya sama-sama tenggelam dalam lumpur konflik.
"Kritik sejati tidak membutuhkan kekerasan atau caci maki untuk menggema; ia cukup dengan kebenaran yang tersusun rapi, seperti warna pada kanvas atau kata dalam narasi."
Saling balas akan berakhir saat kedua pihak-penguasa maupun pengkritik-menempatkan kebijaksanaan di atas ego, dan memilih untuk berdiri di atas landasan moral yang kokoh. Di situlah seni dan narasi menjadi alat untuk membangun, bukan menghancurkan; untuk mencerahkan, bukan memecah belah.
Padang, Sumbar, 22 Desember 2024.
Tentang Penulis
Muhammad Ishak, aktif di kegiatan Silat, baca Puisi dan Teater sejak belia sampai remaja, aktif dalam pementasan Teater dan Baca Puisi sejak tahun 1989 sampai dengan 1995 , tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dalam kelompok Teater Dayung Dayung pimpinan A.Alinde (alm) thn 1992 dan juga tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta (TIM) dengan Bumi Teater Pimpinan Wisran Hadi (alm) tahun 1994 ,dan aktif pementasan teater di Taman Budaya SUMBAR dan kota lainnya, ikut dalam forum Pejuang Seniman Sumatera Barat (FPS-SB) , serta terlibat sebagai pembicara dalam Kelompok Kreator Era AI, Satu Pena SUMBAR. Anggota Komunitas Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat (PPIPM-Indonesia). Ia bekerja di dunia perbankan selama lebih kurang 28 tahun sejak tahun 1996 sebagian dihabiskan menjadi Direktur Utama selama 20 tahun di beberapa Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Sumbar dan mendirikan BPR milik Pemda Padang Pariaman pada thn 2007, sekarang sebagai Komisaris disamping Advokat dan aktif dalam kegiatan Kebudayaan dan Kesenian.
Pendidikan:
Ishak mengenyam pendidikan Sarjana Hukum pada Universitas Bung Hatta dan Magister Hukum pada Universitas Andalas.