Gini, wak. Di negeri ini, pemerintah punya kuasa absolut. Mau membatalkan PPN 12 persen? Bisa! Mau bikin RUU jadi undang-undang semalam? Bisa juga. Bahkan UU KPK saja pernah dilibas, apalagi cuma pajak. Tapi yang terjadi, PDIP sibuk nyalahin pemerintah, Gerindra nyalahin PDIP. Sementara rakyat? Disuruh bayar pajak sambil garuk kepala.
Sambil menikmati kopi di Warkop Camar Jalan Marta Dinata Pontianak, mari kupas lagi drama saling salah menyalahkan kaum elite.
Kenaikan PPN 12 persen ini jadi bahan ghibah nasional. PDIP bilang, “Ini harus dikaji ulang.” Tapi, partai-partai di KIM Plus langsung ngegas, “Loh, bukannya dulu lu yang setuju pas pembahasan?”
Nah, netizen gak mau kalah ikut nimbrung. Salah satu warganet di platform X @Dennysiregar7, langsung bikin cuitan sarkasme yang kena di hati.
"Presiden dari KIM Plus.
Koalisi terbesar juga dari KIM Plus. Kalau mau batalin PPN, tinggal gercep aja.
Tapi kok malah sibuk nyalah-nyalahin siapa yang dulu ngajuin?
Kayak bocil akamsi yang ribut rebutan layangan putus."
Logika publik sederhana, wak. Kalau lu punya kekuasaan penuh, kenapa gak langsung ambil tindakan? Kenapa malah sibuk jadi detektif siapa yang pertama kali ngajak ribut?
KIM Plus ini, bukannya bikin solusi, malah asyik main “Ini salah siapa?” Kalau kata para penonton layar kaca, “Loh, kok ceritanya jadi FTV?” Padahal, rakyat cuma pengen satu, jangan dinaikin dong pajaknya! Tapi yang ada, para elite politik sibuk bikin skenario ala telenovela.
Jangan-jangan, ini semua cuma strategi biar rakyat gak fokus ke isu lain? Ya, siapa tahu. Kan katanya teori konspirasi itu bikin hidup lebih seru. Kalau gak ada drama, hidup bisa flat, wak. Sambil bayar pajak lebih mahal, rakyat dikasih tontonan gratis, politik salah-salahan.
Akhir kata, PPN 12 persen ini bukan soal ekonomi doang. Ini soal logika politik yang makin absurd. Kalau KIM Plus punya kuasa penuh tapi gak berani batalin pajak, rakyat cuma bisa mikir, apa kita salah pilih orang, ya?
Atau, seperti kata bocil akamsi, "Yah, ribut-ribut doang, gak ada yang berani bertindak."