Ada yang lahir kembali dari masa silam, menyeret ingatan pada catatan kelam. Ia bernama bredel. Setelah sepi bertahun-tahun, kini berdiri lagi di ambang senyap. Ia mengacungkan tangan, meminta diakui. Ia, yang dulu menutup mulut koran, kini beralih mengunci suara kanvas.
Yos Suprapto, seorang pelukis dengan gagasan besar, melukis kisah tentang tanah, tentang kedaulatan, tentang harapan yang tak pernah utuh. Tetapi siapa yang berani menyangka, warna yang ia tuangkan ternyata terlalu tajam, bentuk yang ia ukir terlalu berani, dan tafsir yang ia tinggalkan terlalu menyayat hati?
Karya itu, seperti cermin yang memantulkan bayangan. Bukan bayangan biasa, melainkan bayangan yang tak seorang pun ingin melihatnya. Lima lukisan itu, katanya, mengusik. Mengguncang. Bahkan, katanya lagi, mirip seseorang yang semua orang tahu namanya, tetapi tak ada yang berani menyebutnya.
Lukisan tentang raja yang menginjak. Tentang manusia yang menjilat. Tentang sapi merah yang perlahan menuju singgasana. Sebuah parade simbol yang mengalir seperti sungai, tetapi airnya berubah menjadi api. Di antara bara itu, Yos berdiri. Bukan sebagai pelukis lagi, melainkan sebagai pengemban pesan, meski ia tahu pesan itu berat, bahkan mungkin akan dihancurkan.
Bukan karena warna yang memudar atau kanvas yang robek, melainkan karena tafsir yang tak pernah sepi. Lima dari tiga puluh lukisan itu dianggap terlalu melawan, terlalu mirip, terlalu berbahaya. Yos, dengan tangannya yang telah mengukir setiap guratan dengan darah perjuangan, menolak menanggalkan lima nyawa itu. Jika satu gugur, maka semuanya akan ia kuburkan.
Lalu bredel datang. Ia tak bersuara, tapi suaranya menggema. Ia tak bergerak, tapi langkahnya mengguncang. Di depan bredel, seni itu tersungkur, tak lagi mampu bicara.
Namun, seni selalu menemukan jalannya. Begitu kata seorang tokoh, entah sebagai penghibur atau pengingat. Mungkin seni memang tak akan mati, tapi ia terluka. Lukanya menganga, darahnya menetes di atas tanah yang justru ingin ia bela.
Yos Suprapto diam. Mantan presiden itu diam. Semua diam, kecuali tafsir yang terus berputar di kepala setiap orang. Tapi bukankah itulah seni? Sebuah misteri yang tak pernah selesai. Sebuah pertanyaan yang tak butuh jawaban. Sebuah kebenaran yang justru lahir dari keraguan.
Di tengah malam yang sunyi, bredel mungkin tertawa. Ia menang lagi. Tapi esok, saat fajar merekah, seni akan bangkit. Ia selalu begitu. Di mana pun ia dikubur, di sanalah ia akan tumbuh. Di antara debu bredel, bunga-bunga perlawanan akan bermekaran, warnanya lebih terang, dan pesannya lebih lantang.
Bredel, kau mungkin memotong cabang. Tapi kau tak akan pernah mampu mencabut akar.