Minggu, 19 Januari 2025
lidahrakyat.com
id
en
LidahRakyat
LidahRakyat

Dari Janji Manis ke Realita Pahit

Kenaikan PPN 12 persen

Oleh: Meja Redaksi Lidah Rakyat
Kamis, 19 Desember 2024 52
LidahRakyat
Ilustrasi
  • Mumpung belum berlaku, janur kuning belum melengkung. Kenaikan pajak harus dicegah. Betul ndak wak?

  • Prabowo Subianto, Presiden yang baru saja merasakan empuknya kursi kekuasaan, tiba-tiba menjadi bintang utama sinetron ekonomi berjudul “Janji Manis, Pahit di Awal Kekuasaan.” Dalam waktu kurang dari 100 hari, janji kampanye tentang tidak akan menaikkan pajak berubah menjadi kejutan yang membuat penonton politik ternganga. PPN resmi naik menjadi 12 persen. Sebuah angka yang mengundang banyak drama di dunia nyata dan dunia maya.

  • Bayangkan ini, wak! Sebuah ballroom megah, lampu kristal berkilauan, dan suara Prabowo yang bergema dengan penuh keyakinan.
  • “Pajak itu masalah efisiensi, bukan soal naikin pajak!” katanya penuh semangat, seakan-akan seluruh rakyat Indonesia sudah terjamin bebas pajak. Saat itu, dia bahkan membandingkan Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara. Vietnam, Thailand, Kamboja, semua menjadi tokoh pembanding.
  • “Kita sama-sama Asia. Kalau mereka bisa, kita juga pasti bisa!” tegasnya.

  • Ah, ironi. Ternyata yang dimaksud bisa adalah bisa menaikkan pajak lebih cepat dari harapan. Rasanya seperti menonton film dengan ending yang sudah ditebak, kebijakan yang bikin rakyat makin cekak.

  • Begitu tarif PPN naik, Menteri Keuangan Sri Mulyani tampil bak antagonis yang tenang, memberi alasan dengan nada ilmiah.
  • “Tarif kita masih rendah dibanding Turki yang 20 persen atau Brasil yang 17 persen,” katanya.

  • Tunggu, jadi solusi adalah kita harus lebih mirip Turki dan Brasil? Kalau begitu, kenapa nggak sekalian saja bikin kita hidup di bawah inflasi 50 persen seperti mereka? Sekalian rasio pajak 24 persen biar makin mantap! Tapi jangan lupa, bedanya mereka punya kualitas hidup yang lumayan. Sementara kita? Masih sibuk nge-tweet keluhan listrik mati dan jalanan bolong.

  • “Janji itu hanya omon-omon! Belum 100 hari sudah ingkar janji!” tulis Yanti di X, platform yang dulunya Twitter sebelum dijajah Elon Musk. Ucapan ini seolah menjadi suara rakyat yang muak. Mereka yang baru saja terjebak dalam harapan palsu kini hanya bisa melongo sambil memegang struk belanja, tisu basah kok pajaknya makin mahal?

  • Mungkin, dalam dunia politik, menaikkan pajak itu seperti mencuri permen di toko, cepat, mudah, dan menguntungkan. Lupa saja bahwa rakyat, para pembeli permen, kini hanya bisa menangis sambil menghitung receh di dompet.

  • Tapi mari kita berfilosofi sedikit, apa sebenarnya esensi dari tidak menaikkan pajak? Apakah hanya sekadar janji kosong untuk mendulang suara? Ataukah ini cara halus para politisi untuk melatih rakyat hidup lebih sederhana dengan kata lain, nggak usah belanja, biar hemat pajak?

  • Drama ini belum berakhir. Baru episode pertama, tapi sudah cukup untuk membuat rakyat bersiap-siap menghadapi lima tahun ke depan. Akan ada banyak kejutan, seperti kejuran sinetron prime time. Kita hanya bisa berharap, semoga Prabowo mengingat kembali janji-janji indahnya. Kalau tidak, ya sudahlah. Rakyat Indonesia sudah terlalu sering patah hati.

  • Pada akhirnya, janji politik itu seperti promo flash sale, terlihat menarik di depan, tapi begitu di-checkout, harganya beda jauh.(red)
Komentar
Silakan lakukan login terlebih dahulu untuk bisa mengisi komentar.
LidahRakyat