/1/
Surat untuk Sebatang Bambu
Kepada kau yang hanyut,
adakah angin membisikkan jalan pulang?
Ataukah kau telah lupa
seperti sungai yang melupakan asalnya?
Aku ingin mengatakan ini:
kau bukan tubuh yang hilang,
tetapi pengembara yang setia
menempuh takdir tanpa bertanya.
Ketika air memelukmu,
ketika daunmu gugur di derasnya arus,
kau tidak kalah
kau hanya mengalir,
mencari bentuk baru yang tak pernah kau tahu.
Wahai kau di sana, yang nasibnya seperti bambu,
adakah kau membaca puisiku,
sebagi pengganti tanda rindu?
Bandung, 2013
/2/
Kau Bagaikan Sebatang Bambu
Kau bagaikan sebatang bambu,
meluncur di sungai yang gemuruh,
terpisah dari rumpunmu,
dihanyutkan deras yang tak pernah peduli tanya.
Air itu menggulungmu,
mengoyak daun-daunmu menjadi bayang samar,
mengusap buku-buku tubuhmu
seolah melucuti kenangan satu per satu.
Kau melaju, bukan karena mau,
tapi karena arus lebih keras dari harapan.
Apa yang kau cari,
muara yang sunyi? atau sekadar ujung waktu?
Aku melihatmu pecah perlahan,
patah menjadi serpihan kecil,
namun pada retak itu ada rahasia:
bambu, kau, tak hilang,
kau hanya bermetamorfosis.
Jika kau tenggelam di dasar danau,
maka tubuhmu akan menjadi tiang bagi dunia baru,
akar bagi yang tak kau kenal,
rumah bagi air yang enggan berhenti.
Kau hanyut,
tapi bukan berarti selesai,
sebab kau adalah cerita sejati
yang mengalir,
meninggalkan jejak dan misteri,
meski kau tak pernah kembali.
Bandung, 2013
/3/
Bambu yang Berbisik
Aku mendengar kau berbicara,
meski tubuhmu diam hanyut,
daun-daunmu mengajarkan bahasa yang hilang,
buku-bukumu melukis luka yang tak tampak.
Arus membawamu jauh,
bukan sekadar perjalanan,
tapi sebuah percakapan sunyi,
antara kau dan sungai yang tak henti berlari.
"Di mana rumah?" tanyamu,
tapi air hanya tertawa,
mengusir rindumu dengan derasnya,
seolah rumah bukan lagi sebuah tempat.
Namun aku tahu, bambu, kau, tak hilang,
kau tetap menjadi—
serpihan cerita,
akar kehidupan,
jejak dan misteri di sungai tak bertepi.
Bandung, 2013
/4/
Tubuhmu, Sebuah Perahu
Kawan,
tak usah kau tanya bagaimana aku memandangmu.
Bayangkanlah dirimu, jadi bambu yang hanyut itu.
Kau kan menjadi perahu,
tanpa layar,
tanpa kendali,
mengikuti arus seolah kau pemilik nasibmu,
padahal kau hanya penumpang yang lelah.
Kau tidak bertanya,
hanya bergerak,
membiarkan sungai menuntunmu
ke tempat yang bahkan kau tak mengerti.
Di deras itu,
aku melihatmu pecah,
patah menjadi serpihan kecil,
tetapi bukan kehilangan,
melainkan transformasi.
Kau hanyut, ya,
tetapi dalam tiap tetes air yang menyentuhmu,
kau menjadi sesuatu yang lebih besar:
sebuah puisi di tengah riak.
Bandung, 2013
/5/
Hening di Antara Arus
Jangan tanyakan padaku apa arti hening.
Bayangakan saja, dirimu sebatang bambu yang hanyut,
dan aku melihatmu sebagai bayangan,
sepotong hidup yang meluncur
tanpa tanya, tanpa jawab.
Tubuhmu tidak memberontak,
hanya pasrah pada deras,
seperti jiwa yang lelah melawan badai.
Namun dalam hening itu,
kau menyimpan rahasia:
sebatang bambu tak pernah menyerah—
kau hanya berubah,
menjadi bagian dari perjalanan yang lebih luas,
tak peduli hidup semakin ganas.
Bandung, 2013
/6/
Ketika Kau Hanyut
Kau bertanya padaku,
bagaimana perasaanku jika kau hanyut?
Kau bayangkan sekarang juga,
dirimu mu menjelma sepotong bambu hanyut,
dan kau bertanya pada air:
“Ke mana air akan membawaku?”
Tetapi air tak menjawab,
hanya riak yang menertawakan rasa ingin tahu.
Buku-buku tubuhmu adalah peta,
tetapi tanpa arah,
kau hanya melaju,
membiarkan takdir menjadi nahkoda.
Aku ingin percaya,
bahwa di ujung sana ada sesuatu,
muara, dermaga,
atau bahkan keheningan,
yang menunggu untuk menyambut tubuhmu.
Tetapi jika tidak,
kau tetap tak sendiri,
sebab perjalananmu adalah bukti,
bahwa bahkan yang hanyut pun
meninggalkan jejak,
menyisakan kenangan,
memiliki banyak teman sungai waktu.
Tapi, tenang dulu,
aku takkan membiarkan dirimu hanyut begitu saja, banyak kenangan yang sudah kita lalui bersama.
Bandung, 2013
*Riwayat Singkat Penulis
Puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2013. Puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital tahun 2024.
Leni Marlina merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat. Ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair & Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Selain itu, Leni terlibat dalam Victoria's Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Leni juga mendirikan dan memimpin sejumlah komunitas digital yang berfokus pada sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:, (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC): https://rb.gy/5c1b02, (2) Komunitas Internasional POETRY-PEN; (3)
Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat): https://shorturl.at/2eTSB & https://shorturl.at/tHjRI;
(4) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02