- /1/
- Api yang Membakar Cahaya
- Awalnya,
- aku melihatmu,
- merah meletup dari matamu,
- seperti percikan api yang melawan langit kelam,
- sebuah janji yang terpanggang oleh darah dan kesunyian,
- api yang tak mengenal penghujung—
- menari di atas jari-jari angin yang menembus hutan rimba.
- Lalu,
- kau menjadi merah,
- seperti luka yang menganga dan tidak ingin sembuh,
- seperti kobaran yang tak pernah padam di dalam dada,
- membakar tiap jejak yang kita lalui,
- membuat bumi bergetar di bawah kaki kita.
- Aku berdiri di sisimu,
- menatap senja yang tidak pernah sempurna,
- bersama menanggung beban dunia yang mendera.
- Kau berlari,
- seperti bara api yang menderu ke malam,
- meski langkahmu membakar dirinya sendiri,
- dan aku berjanji akan tetap menunggu,
- karena dalam keping debu api itu,
- aku menemukan hidup yang lebih besar dari segala luka yang pernah ada.
- Padang, Sumbar, 2024
- /2/
- Oranye: Tawa yang Menggores Langit
- Aku ikut tertawa,
- melihat kau tertawa,
- oranye mengalir dari dalam dirimu,
- seperti guruh pagi yang menumbangkan langit,
- sebuah tawa yang menyayat malam,
- terpancar dari matahari yang tak takut tenggelam.
- Lalu,
- kau menjelma oranye,
- mengguncang cakrawala dengan tawa yang tak terhentikan,
- seperti sang surya yang menolak pergi,
- menyulut setiap inci kegelapan dengan api harapan.
- Aku berdiri di sampingmu,
- menyaksikan selaput malam terbakar dalam tawa kita,
- melintasi ruang dan waktu,
- canda itu bagaikan pusaran angin, yang menuntun kita.
- Kau adalah nyala yang membuat aku merasa hidup,
- dan aku berjanji akan selalu berada di sini,
- menyaksikan senyummu yang tak mudah menguap.
- Saat hijau datang,
- meresap dalam sela tawa kita,
- menumbuhkan akar yang tak tampak,
- menyatukan tanah dan langit dalam langkah kita.
- Kita berjalan bersama,
- seperti tanaman yang menembus langit dengan kaki-kaki yang tertanam dalam bumi.
- Padang, Sumbar, 2024
- /3/
- Kuning: Cahaya yang Menyusun Ruang
- Aku menyaksikan,
- kuning menyinari langkahmu,
- ringan seperti serpihan bintang yang terjatuh ke bumi.
- Ia bukan terang yang membutakan,
- tapi cahaya yang menjelma dalam kegelapan,
- seperti api yang ditemukan di bawah permukaan laut yang tersembunyi.
- Lalu,
- kau bertransformasi jadi kuning,
- seperti matahari yang muncul di bawah langit yang retak,
- sebuah harapan yang terbungkus dalam kilau kebijaksanaan yang tak terlihat.
- Aku menatapmu,
- mencari dalam jejakmu,
- sebuah kilauan yang tidak akan pernah mati—
- seperti cahaya yang dipatri dalam bebatuan malam.
- Kau adalah harapan yang lahir dari dalam senyap,
- dan aku merasa hidup,
- karena dalam setiap jejakmu,
- aku menemukan pencarian yang lebih tinggi.
- Saat biru datang,
- seperti laut yang menahan segala kepahitan,
- menampung semua jejak langkah yang pernah hilang.
- Aku merasakanmu,
- dalam kebebasan yang terlahir dari lautan kebenaran.
- Padang, Sumbar, 2024
- /4/
- Hijau: Akar yang Melampaui Waktu
- Aku terpukau,
- melihat kau menjelma hijau,
- berbisik lembut dari tanah yang berkarat,
- seperti akar yang menembus perut bumi, dan menantang badai.
- Aku berdiri di sampingmu,
- merasakan getaran dunia yang menahan kita,
- seperti aliran energi yang melintasi serat-serat tanah.
- Kau tumbuh dalam diam,
- menyusuri jalur yang terpendam dalam perut bumi,
- menghunjamkan harapan ke dalam tanah yang terkoyak,
- dan aku berjanji akan tetap bersamamu,
- karena tanpa akar ini,
- tak akan ada kehidupan yang dapat menggapai cahaya.
- Kau adalah kekuatan yang memegang dunia dalam diam,
- dan aku mengikutimu,
- menjadi bagian dari benih yang tumbuh dalam keheningan ini.
- Saat merah datang kembali,
- ia mengalir dalam darah kita,
- memercikkan api di antara kita,
- menyatukan segala luka dan penyembuhan dalam satu irama.
- Tanpa merah, kita hijau tak akan tumbuh,
- seperti luka yang memberi jalan bagi kesembuhan yang datang.
- Padang, Sumbar, 2024
- /5/
- Biru: Lautan yang Menyelam ke Dalam Jiwa
- Satu hal yang kutahu,
- kau adalah biru,
- seperti lautan yang tidak pernah lelah,
- menyambut jejak kita yang datang dan pergi,
- tanpa menghakimi.
- Aku melihatmu,
- menerobos gelombang,
- tanpa takut tenggelam,
- seperti langit yang kembali setelah hujan badai.
- Kau menikmati menjadi biru,
- menyusuri samudra yang luas tanpa batas,
- menghapus jejak yang tertinggal,
- seperti laut yang mengerti tiap perjalanan takkan selesai.
- Aku mengikuti gelombangmu,
- berjalan di sepanjang pantai yang tak berujung,
- seperti perjuangan yang tak mengenal akhir.
- Kemudian ungu datang,
- mengalir seperti kabut yang menembus batas ruang,
- melampaui segala yang kita kenal.
- Aku tak gentar,
- aku merasakan kedamaian dalam perjalanan ini,
- karena biru dan ungu akan menyatu,
- seperti langit yang tak pernah meninggalkan malam.
- Dan aku tahu,
- kita akan selalu bersama,
- dalam perjalanan yang belum usai,
- bersama kita meraih cinta dan damai.
- Padang, Sumbar, 2024
Riwayat Singkat
Puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2010 Puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital tahun 2024.
Leni Marlina merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat. Ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair & Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Selain itu, Leni terlibat dalam Victoria's Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.Leni juga merupakan pendiri dan pemimpin sejumlahkomunitas digital yang berfokus pada sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:, (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC): https://rb.gy/5c1b02, (2) Komunitas Internasional POETRY-PEN; (3) Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat): https://tinyurl.com/zxpadkr; (4) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02.