Minggu, 19 Januari 2025
lidahrakyat.com
id
en
LidahRakyat
LidahRakyat

Tragedi Jumat Di Jalanan Untan

Penertiban PKL Pontianak

Oleh: Meja Redaksi Lidah Rakyat
Jumat, 6 Desember 2024 80
LidahRakyat
Ilustrasi

Jumat biasanya penuh doa. Kali ini penuh jeritan. Di kompleks Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, panas bukan hanya karena matahari, tetapi juga karena aksi penertiban pedagang kaki lima (PKL).

Seorang ibu tua, wajahnya keriput seperti kertas yang terlalu sering dilipat. Matanya basah. Tangannya gemetar sambil teriak-teriak. Ia meronta nyaring. "Tolong, Pak. Saya sudah tua. Saya mau makan apa kalau ini ditutup? Inilah hidup saya," katanya, dengan suara yang terdengar lebih mirip doa dari protes.

Poster-poster itu bicara lebih lantang. "Kami bukan kriminal." "Kami hanya mencari sesuap nasi." "Kami ini rakyat kecil, bukan musuh negara." Tapi siapa yang mendengar? Polisi hanya diam. Satpol PP sibuk mengatur barisan. TNI berdiri gagah, tak tergoyahkan.

PKL itu, dulunya cuma satu-dua. Lama-lama jadi seperti jamur di musim hujan. Mengakar di sepanjang jalan Untan. Mereka tahu tempat ini strategis, di tengah kota, ramai mahasiswa. Tapi siapa yang bisa menyalahkan? Ekonomi sulit. Lapangan kerja formal seperti utopia. Maka mereka menjual apa yang bisa dijual.

Tapi hari ini bukan soal ekonomi. Hari ini soal ruang. Kota ingin teratur. Jalan harus bersih. Mereka, PKL itu, seperti noda di kanvas modernisasi.

Mediasi sudah sering. Seperti wayang tanpa lakon baru. Hasilnya selalu buntu. Aparat datang dengan mandat. PKL datang dengan hidup mereka. Dua dunia bertabrakan. Tidak ada pemenang. Seorang pemuda melemparkan kata-kata tajam, "Kalian ini penjaga rakyat atau penjaga kuasa? Kami hanya jualan. Tidak mencuri. Tidak korupsi." Polisi menatapnya dingin.

Ironi itu menusuk di sana. Di jalan kecil yang penuh keringat rakyat kecil. Penertiban diadakan demi keteraturan. Sementara di gedung-gedung megah ber-AC, uang triliunan hilang seperti debu. Diam-diam. Cepat. Tanpa protes. Korupsi menggeliat seperti ular, melilit leher rakyat kecil yang hanya ingin hidup.

Ratusan miliar untuk proyek fiktif. Triliunan hilang dari kas negara. Semua itu uang rakyat, termasuk ibu tua tadi. Uang yang seharusnya untuk membangun pasar, malah jadi vila. Uang yang seharusnya untuk pendidikan, malah jadi rekening pribadi. Tapi siapa yang ditertibkan? Ibu tua yang jualan gorengan.

Di akhir hari, jalanan bersih. Bangku plastik, gerobak, dan payung dagangan dibawa pergi. Tapi aroma sisa gorengan dan bau keringat tetap tertinggal. Sisa-sisa keberadaan mereka.

PKL selalu begitu. Dibiarkan, mereka tumbuh liar. Ditertibkan, mereka hilang dengan luka. Di satu sisi, mereka adalah problem urbanisasi. Di sisi lain, mereka adalah denyut ekonomi kecil-kecilan yang membuat dapur tetap mengepul.

Hari ini, seorang ibu tua menangis. Besok, mungkin dia akan kembali. Mungkin tidak. Yang pasti, uang rakyat yang dicuri tidak akan kembali. Rakyat kecil hanya dihitung saat pilkada. Setelah itu, mereka hanya angka. Angka yang kecil, tak berarti. (Rosadi Jamani)

Komentar
Silakan lakukan login terlebih dahulu untuk bisa mengisi komentar.
LidahRakyat