Jensen Huang, pendiri dan CEO NVIDIA, dalam sebuah wawancara bilang, “Jangan berpikir bahwa Artificial Intelegence (AI) akan menjadi manusia super. Tapi gunakan AI agar kita menjadi manusia super. AI akan membuat semua orang menjadi manusia super. Itu idenya!”
Pernyataan itu dasar banget dan clear enggak sih, tentang ide besar lahirnya AI? Yang dikatakan Jensen sekaligus menjadi jawaban bagi orang-orang yang masih suka bilang, “AI akan menggantikan manusia”. Atau ada juga yang bilang, “Aku merasa insecure nih kak, takut ketinggalan dengan AI.”
AI dan Guru
Supaya jelas, pertama-tama, kita letakkan dulu mindset bahwa AI tuh seperti guru yang ngajarin siswa di sekolah. Guru adalah tempat bertanya bagi siswa, karena guru dianggap lebih pintar dan punya pengalaman panjang.
Guru pun menjawab sesuai pengetahuannya. Pastinya dong ada hal-hal yang guru enggak tahu, bahkan salah dalam menjawab pertanyaan siswanya. Jangan bilang, “Wajarlah, karena manusia emang tempatnya salah dan dosa", ya! Itu emang benar. Tapi dalam konteks ini, sedikit atau banyaknya pengetahuan dan latihan dari seorang guru, mempengaruhi kualitas jawabannya. AI pun kayak gitu. Ia menjadi tempat bertanya bagi manusia, lalu AI menjawab sesuai dengan kepintarannya. Oleh penciptanya, which is manusia, AI dilatih sepintar mungkin sampai cara berpikir, cara ngomong, dan caranya berinteraksinya mirip banget dengan manusia.
Trus, bisakah AI salah? Bisa banget, dan sering terjadi. Sama kayak guru di atas, semakin banyak data dan pengetahuan yang dilatihkan ke AI, semakin pintarlah ia memberikan jawaban. Sementara yang belum dilatihkan, ia enggak bisa jawab. Selain itu, yang namanya teknologi, ada saja potensi kerusakan sistem, masalah jaringan, dan semacamnya.
Jadi, bedanya guru dengan AI apa nih, guys? Dengan AI, kita enggak harus sekolah formal untuk dapat Ilmu dan keterampilan. Enggak wajib juga masuk pagi dan pulang sore, enggak berhadapan dengan proses birokrasi yang ribet, apalagi bayar ini dan itu, untuk bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan kita. Dengan kemudahan AI, kita cukup punya smartphone/komputer, jaringan internet, dan kemauan belajar untuk bisa mengakses banyak ilmu dan keterampilan.
Nah, yang perlu dipahami, baik bertanya ke guru atau ke AI, manusia harus punya kemampuan bertanya yang baik, kreatif, dan kritis. Karena menghasilkan pertanyaan yang berkualitas kadang lebih sulit dari menjawab pertanyaan. Pertanyaan yang biasa saja, akan menghasilkan jawaban yang biasa juga. So, manusia harus dan wajib terus belajar supaya mampu merumuskan pertanyaan yang kreatif, kompleks, kritis, dan holistik, untuk mendapatkan jawaban yang berkualitas.
Demokratisasi Pendidikan
Kehadiran AI beneran mendemokratisasi dunia pendidikan dalam arti luas. Paulo Freire, salah satu bapak pendidikan kritis, bilang, "Demokrasi dalam pendidikan adalah menciptakan proses pembelajaran yang membebaskan, di mana siswa dan guru setara, bisa berdialog secara terbuka, untuk membangun pemahaman dan kemerdekaan dari ketidakadilan.
John Dewey, filsuf Amerika, juga bilang gitu. Katanya, "Demokrasi dalam pendidikan berarti memberi kesempatan setiap orang untuk berkembang maksimal sesuai potensinya. Setiap murid, didorong terlibat aktif sesuai pengalaman hidup mereka, dengan tujuan bisa berkontribusi pada masyarakat." Dan inilah yang terjadi di Era AI. Berbagai aplikasi AI tersedia. Dari urusan tulisan, gambar, video, musik, hukum, kesehatan, kesehatan mental, sampai percintaan, bisa membantu aktivitas manusia. Mudah digunakan, dan hasilnya secepat kilat. Enggak serumit belajar komputer.
Siapa saja bisa mengakses aplikasi AI. Enggak hanya anak muda yang dekat banget dengan teknologi, tapi juga anak-anak, lansia, dan teman disabilitas. Bukan hanya orang di Pulau Jawa atau di kota-kota besar yang bisa belajar dengan AI, tapi juga mereka yang di Indonesia Timur, dan wilayah terpencil lainnya. Yang penting ada 3 hal ini: smartphone/komputer, jaringan internet, dan kemauan kuat untuk belajar.
Dengan bantuan AI, siapa pun berpotensi besar menjadi pengusaha, penulis, pelukis, pemusik, pengajar, content creator, dan profesi lainnya, yang bisa jadi ruang ekspresi, juga mendatangkan cuan.
Suara-suara yang selama ini terpinggirkan seperti, diskriminasi terhadap penganut agama/kepercayaan yang berbeda, atau isu ketidakadilan gender, bisa lebih menggema dengan bantuan AI, yang memudahkan bikin konten edukasi dan kampanye di media sosial.
*Sekretaris Forum Kreator Era AI & Founder Generasi Literat