Selasa, 10 Desember 2024
lidahrakyat.com
id
en
LidahRakyat

Relasi Kristen - Islam , Masa Lalu, Sekarang Dan Harapan Untuk Masa Depan

Solidaritas Lintas Agama

Oleh: Budhy Munawar-Rachman*
Sabtu, 30 November 2024 38
LidahRakyat
Foto Dokumentasi Pribadi
Budhy Munawar-Rachman, Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) Universitas Paramadina
  • Sudah tiga kali Jum’at malam saya mendamping sahabat saya, Mun’im Sirry, memberikan kuliah webinar tentang relasi Kristen – Islam, masa lalu, sekarang dan harapannya untuk masa depan (Program kolaborasi PCRP Universitas Paramadina dan Yayasan Dian/Interfidei). Pertemuan semalam (29/11/24), merangkum dan mengkonseptualisasi dua pertemuan sebelumnya yang menggambarkan suasana aktual relasi di masa lalu dan dewasa ini. 

  • Karena menarik uraian Mun’im, saya coba menuliskan dan merefleksikan apa yang disampaikan sahabat saya yang memang sudah bertahun-tahun mendalami Bagaimana relasi Kristen – Islam dan sebaliknya ini dalam sejarah dan pemikiran.

  • Menurut Mun’im, relasi antara Kristen dan Islam adalah sebuah perjalanan panjang yang kaya dengan sejarah, pengalaman, dan dinamika yang terus berubah. Kedua agama besar ini memiliki banyak kesamaan, namun juga perbedaan yang sering kali menjadi tantangan dalam membangun hubungan yang harmonis. Dalam upaya memahami relasi ini, dalam tiga kali pertemuan tersebut, Mun’im sudah menunjukkan bagaimana agama-agama ini (Kristen – Islam) terlibat dalam dialog, baik secara teologis maupun melalui interaksi sosial sehari-hari.

  • Menghubungkan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

  • Sejarah hubungan antara Kristen dan Islam mencatat berbagai babak, mulai dari dialog intelektual hingga konflik, dari masa-masa penuh kerjasama hingga ketegangan yang mendalam. Saat ini, dunia menghadapi tantangan besar seperti konflik politik, stereotip, dan prasangka terhadap agama tertentu. Oleh karena itu, menurut saya, kuliah Mun’im ini penting untuk merefleksikan masa lalu sebagai pelajaran dalam membangun masa kini dan masa depan yang lebih baik.

  • Semalam, beberapa tokoh disebut Mun’im untuk memahami apa yang terjadi dalam relasi Kristen – Islam dan sebaliknya. Talal Asad, seorang antropolog terkenal, menjelaskan agama sebagai “tradisi diskursif” – sebuah konsep yang menggambarkan agama sebagai sesuatu yang hidup, berinteraksi dengan berbagai budaya dan kondisi zaman. Agama, menurutnya, tidak berdiri diam tetapi terus berkembang. Shahab Ahmed menambahkan bahwa pendekatan “hermeneutical engagement” atau keterlibatan hermeneutik penting untuk memahami teks suci dalam konteks zaman modern. Sementara itu, Thomas Bauer memperkenalkan gagasan tentang “budaya ambiguitas,” menyoroti bahwa keragaman tafsir dan pemahaman adalah bagian dari kekayaan agama, bukan kelemahan.

  • Mengubah Pendekatan Dari Polemik ke Dialog

  • Menurut Mun’im, salah satu perubahan besar yang perlu dilakukan dalam relasi Kristen-Islam adalah meninggalkan pendekatan lama yang hanya berfokus pada pembuktian siapa yang benar, atau yang biasa dalam pemikiran antaragama disebut “prooftexting.” Pendekatan ini sering kali hanya mengutip ayat-ayat dari Alkitab atau Alquran untuk memperkuat posisi tertentu, tanpa memperhatikan konteks atau makna yang lebih dalam.
  • Pendekatan yang lebih baik adalah “reconnection” – menghubungkan kembali nilai-nilai inti agama dengan kehidupan manusia modern. Dialog yang sehat tidak hanya mencari kebenaran semata, tetapi juga memahami bagaimana kedua agama ini (disebut oleh Pdt. Elga Sarapung, yang ikut memberi komentar) dapat bekerja bersama dalam memecahkan masalah dunia seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan perubahan iklim.

  • Dialog di Masa Sulit

  • Menurut Mun’im, konteks dunia saat ini, dengan segala konflik dan kecurigaan, membuat dialog antara Kristen dan Islam menjadi semakin penting. Salah satu tantangan utama adalah mengatasi prasangka atau istilah Elga, “udar prasangka". Seperti yang disebutkan oleh Dan Madigan, salah satu hambatan besar dalam dialog ini adalah adanya “kecurigaan” dari kedua belah pihak. Dalam beberapa kasus, ada kecenderungan untuk “interpreting away” – memandang keyakinan agama lain sebagai kesalahan atau salah paham.

  • Menurut Mun’im, agama Kristen dan seharusnya juga Islam dan semua agama, menawarkan konsep yang menarik: “Gratuity is a Christian value.” Keikhlasan atau kemurahan hati adalah nilai utama yang dapat menjadi dasar dialog. Jika dialog dilakukan tanpa syarat, dengan niat yang tulus untuk saling memahami, maka relasi antara kedua agama ini dapat diperkuat.

  • Mengapa Dialog Doktrinal Penting?

  • Dari kuliah Mun’im Sirry dan komentar Elga Sarapung, dan tanggapan para peserta, saya mencatata bahwa dialog doktrinal, atau dialog yang membahas ajaran dan kepercayaan inti agama, sangat penting karena tiga alasan utama:

  • Pertama, keterbukaan Agama untuk Dipelajari: Kristen dan Islam adalah agama besar yang memiliki dampak global. Ajaran-ajarannya terbuka untuk dipelajari, dipahami, dan diajarkan, bukan hanya oleh penganutnya tetapi juga oleh orang lain. Dialog teologis membantu menggali makna terdalam dari ajaran-ajaran ini.

  • Kedua, fenomena Global: Dalam era globalisasi, interaksi antaragama tidak dapat dihindari. Dialog antaragama menjadi cara untuk membangun saling pengertian dalam dunia yang semakin terhubung.

  • Ketiga, syarat-syarat Dialog yang Penting: Dalam menjalankan dialog ini Mun’im menyebut pemikiran seorang tokoh, Catherine Cornille, yang menekankan bahwa dialog lintas agama memerlukan kerendahhatian, komitmen, empati, keramahan, dan kemauan untuk menghilangkan mitos superioritas agama tertentu. Sikap-sikap ini penting untuk menciptakan ruang di mana setiap orang merasa didengar dan dihormati.

  • Mengikis Mitos Superioritas

  • Mun’in menegaskan pandangan yang pernah kontroversial dalam dunia dialog ini, salah satu hambatan terbesar dalam dialog lintas agama adalah mitos bahwa satu agama lebih superior daripada yang lain. Pandangan seperti ini tidak hanya memperburuk hubungan antaragama, tetapi juga menutup kemungkinan untuk belajar satu sama lain. Konsep seperti “scriptural reasoning” (penalaran bersama melalui kitab suci) menawarkan pendekatan yang lebih inklusif, di mana para pemuka agama Kristen dan Islam dapat mendiskusikan teks-teks mereka dalam suasana saling menghormati.
  • Selain itu, teologi pluralisme agama, yang dikembangkan oleh para banyak pemikir Kristen, seperti Paul Knitter, Jacques Dupuis, juga pemikir Islam seperti Abdulaziz Sachedina, mendorong untuk membangun teologi yang lebih terbuka terhadap agama-agama lain. Ini bukan berarti mengorbankan identitas agama, tetapi justru memperkaya pemahaman dengan melihat keberagaman sebagai anugerah.

  • Dari diskusi ini, saya menyimpulkan bahwa relasi Kristen-Islam, juga sebaliknya, harus dipandang sebagai perjalanan bersama untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan adil. Dalam dunia yang penuh tantangan ini, kedua agama memiliki peran besar untuk mengatasi masalah global seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan perubahan iklim. Dengan mendasarkan dialog pada nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih, dan kemurahan hati, agama Kristen dan Islam dapat menjadi kekuatan positif di dunia.

  • Dari diskusi yang sangat inspiratif semalam, saya menyimpulkan bahwa hubungan Kristen-Islam tidak hanya tentang dialog teologis, tetapi juga tentang membangun solidaritas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meninggalkan prasangka dan membuka diri untuk belajar satu sama lain, kedua agama ini dapat membangun jembatan pengertian yang kuat. Dialog yang dilakukan dengan kerendahhatian, empati, dan kemurahan hati adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih harmonis. Semoga masa depan relasi ini menjadi teladan bagi hubungan antaragama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

  • Terima kasih Mun’im untuk tiga kali kuliah yang menginspirasi, dan mencerahkan.


*Penulis adalah Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) Universitas Paramadina

Komentar
Silakan lakukan login terlebih dahulu untuk bisa mengisi komentar.