Masa pencoblosan baru saja berlalu. Hingar-bingar tinta di jari telah surut. Dari sore kemarin, suara bedug dan arak-arakan sudah menggema. Yang menang sibuk memanggil tukang rias, memastikan wajah tampak kinclong di panggung kemenangan. Yang kalah? Diam di sudut, membuka kamus kosakata untuk merangkai kalimat penyesalan.
“Menang merayakan, kalah menjelaskan.” Ungkapan ini bukan sekadar kata-kata. Ia adalah lukisan emosi demokrasi. Sebuah drama klasik yang selalu diperankan dengan apik di panggung politik negeri ini. Yang menang biasanya seperti ini, senyum lebar sampai gigi geraham terlihat. Tangan melambai seperti artis FTV, dan pidato penuh kata mutiara. “Ini kemenangan rakyat! Kita akan bekerja untuk semua,” katanya dengan nada penuh keyakinan. Tapi rakyat tahu, beberapa minggu lagi, janji-janji itu mungkin akan jadi fosil, teronggok di sudut naskah yang tak pernah dihafal.
Perayaan kemenangan juga unik. Ada pesta tumpeng, ada layar tancap, dan kadang ada dangdutan dengan penyanyi yang suaranya lebih sumbang dari microfon balai desa. Semua senang, semua bahagia. Tak ada yang ingat bahwa dana kampanye masih belum dilaporkan. Sementara itu, yang kalah harus jadi penyair dadakan. Kalimat-kalimat seperti, “Kekalahan ini bukan akhir dari segalanya,” atau “Kita dihianati sistem,” atau “Aparat bermain” atau “Bansos dibagikan jelang pencoblosan” atau “Serangan fajar.” Nada-nada curang ini mulai terdengar di grup WhatsApp pendukung. Pidato mereka biasanya lebih panjang dari cerpen Edgar Allan Poe, penuh drama, penuh dendam terpendam.
Ada yang menyalahkan cuaca. “Hujan deras bikin pendukung kami malas keluar.” Ada yang menyalahkan kucing liar. “Kucing itu melangkah ke kiri saat kampanye, pertanda buruk!” Padahal, yang sebenarnya salah cuma satu, rakyat lebih suka yang lain. Tapi siapa yang mau mengaku?
Di balik semua ini, terselip filosofi mendalam. Kemenangan adalah hadiah yang melupakan proses. Kekalahan adalah proses yang melupakan hadiah. Tapi di dunia politik, keduanya sering kali cuma ilusi. Yang menang belum tentu menang, yang kalah belum tentu kalah. Karena ada yang lebih besar dari mereka, lobi di balik layar. Bagi yang menang akan segera lupa siapa yang memilihnya. Yang kalah akan segera lupa kenapa ia kalah. Tapi rakyat? Rakyat tak pernah lupa. Mereka adalah penonton setia. Penonton yang kadang ditraktir nasi bungkus karet dua, tapi lebih sering diberi janji kosong.
Di akhir cerita, siapa yang sebenarnya bahagia? Sang pemenang yang tidur gelisah karena harus membayar “utang budi”? Atau sang pecundang yang akhirnya bisa tidur nyenyak, bebas dari tekanan ekspektasi? Mungkin, yang benar-benar menang adalah mereka yang tidak ikut apa-apa. Hanya duduk di warung kopi, tertawa kecil sambil berkata, “Ya, begitulah politik.”
Selamat menikmati drama demokrasi. Sampai jumpa lima tahun lagi, dengan naskah yang sama, aktor yang berbeda. Atau jangan-jangan, aktornya itu-itu juga? (Rosadi Jamani)