Supriyani berdiri di depan pagar rumah kayu yang telah dimakan usia. Matanya sembab, sisa tangis belum kering di pipinya. Hembusan angin sore Desa Wonua Raya membawa aroma tanah basah. Di kejauhan, suara ayam berkotek memecah hening.
“Supriyani pulang! Supriyani bebas!” teriak seorang ibu tua, suaranya bergetar oleh isak. Dalam sekejap, pekarangan itu penuh sesak. Warga berdatangan.
“Ibu, alhamdulillah, kamu pulang, Nak….” seorang perempuan tua dengan rambut memutih berjalan tertatih menghampiri Supriyani. Itu ibunya.
“Bu…” Supriyani memeluk ibunya erat. Napasnya tersendat-sendat menahan tangis. “Maafkan saya, Bu. Sudah bikin semua repot…”
“Tidak, Nak… tidak. Allah sudah tunjukkan yang benar. Kamu sudah bersih. Kamu kuat,” ucap ibunya, suaranya lirih namun penuh keteguhan.
Seorang tetangga tiba-tiba mendekat. Tangan kasarnya menggenggam tangan Supriyani. “Kami percaya sama kamu dari awal, Ri. Kamu nggak mungkin sejahat itu. Anak-anak kamu aja disayang semua!”
“Benar, Ri,” sambung tetangga lain. “Tuduhan itu nggak masuk akal. Kamu guru terbaik di sini.”
Supriyani hanya mengangguk. Air mata terus membasahi wajahnya. “Terima kasih… semua,” ucapnya hampir tak terdengar.
Para guru PGRI mulai berdatangan. Seragam batik mereka terlihat kontras di antara warna hijau pepohonan. Salah satu dari mereka, Bu Ani, langsung memeluk Supriyani.
“Kamu hebat, RI. Ini Hari Guru Nasional. Kado terbesar untuk kita semua, tahu nggak?” katanya sambil mengelus punggung Supriyani.
“Bu Ani…” Supriyani tak kuasa berkata-kata lagi. Tubuhnya gemetar di pelukan itu.
“Tahu nggak, Ri,” seorang guru lain, Pak Joko, mencoba mencairkan suasana. “Kita ini sampai mau gelar demo besar-besaran di kantor polisi kalau kamu nggak bebas hari ini!”
Beberapa guru tertawa kecil, tapi tawa itu cepat berubah menjadi isakan.
“Maafkan aku…” Supriyani mengulang, kali ini lebih keras. “Maafkan aku. Aku nggak kuat lagi kalau harus melawan tuduhan itu sendirian.”
“Dan kamu nggak pernah sendirian, Supriyani!” tegas Andri, pengacaranya, yang tiba-tiba muncul di antara kerumunan. “Kami semua ada untukmu. Sejak awal.”
Warga kembali bertepuk tangan. Pekarangan yang penuh sesak itu menjadi saksi solidaritas mereka.
Supriyani menoleh ke arah Andri. “Terima kasih. Kalau bukan karena tim kalian, aku… mungkin aku sudah menyerah.”
“Jangan bicara begitu,” jawab Andri, menepuk bahunya. “Kamu adalah simbol perjuangan. Simbol bahwa kebenaran masih ada di negeri ini.”
Mata Supriyani kembali memerah. Dia menyeka air mata dengan ujung jilbabnya. Di depan rumah, anak-anak yang pernah diajarinya berkumpul, memegang kertas bertuliskan: “Kami sayang Bu Guru Supriyani!”
“Bu Guru, kita rindu diajar lagi,” kata salah satu dari mereka, suaranya polos namun menusuk hati.
Supriyani mendekati mereka. “Bu Guru juga rindu… sangat rindu,” jawabnya, lalu memeluk bocah-bocah itu satu per satu.
Langit mulai berubah jingga. Matahari perlahan tenggelam, seolah turut memberi penghormatan pada guru yang akhirnya menemukan kebebasannya. Namun di tengah kebahagiaan itu, Supriyani menatap jauh ke cakrawala. Di balik senyumnya, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. “Hari ini adalah akhir dari cobaan ini,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tapi juga awal dari perjuangan yang baru.”
Sore itu, di pekarangan rumah tua itu, harapan kembali tumbuh bersama pelukan-pelukan hangat dan air mata yang tak berhenti mengalir. (Rosadi Jamani)