Filipina, negeri seribu pulau, kini bergolak oleh sebuah narasi politik yang lebih epik dari kisah mana pun. Di panggung utamanya, berdiri Sara Duterte, Wakil Presiden yang namanya bergema dengan nada ancaman dan kontroversi. Seorang wanita dengan darah politik mengalir deras, yang setiap katanya dapat mengguncang tiang-tiang kekuasaan.
Sara bukan politisi biasa. Ia adalah putri Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina yang terkenal dengan gaya "sapu bersih" tanpa basa-basi. Tapi, Sara bukan sekadar bayangan ayahnya. Dia adalah badai yang berdiri sendiri. Pernyataannya yang mengejutkan baru-baru ini “permintaan untuk membunuh Presiden Ferdinand Marcos Jr. jika dirinya mati” bukanlah sekadar slip of the tongue. Ini adalah manifesto. Sebuah peringatan.
Kisahnya bermula dengan sebuah ancaman. Dalam konferensi pers yang berlangsung Sabtu pagi, Sara, dengan tenang, mengungkapkan bahwa dia telah berbicara dengan seorang pembunuh. Targetnya bukan hanya Presiden Marcos, tetapi juga Ibu Negara Liza Araneta dan Ketua DPR Martin Romualdez. Satu keluarga besar politik, ditargetkan dengan presisi. Alasannya? Konflik yang telah lama berakar dan kini menyembur bagai gunung berapi.
Konflik ini bukan perkara sepele. Sejak 2022, hubungan antara keluarga Duterte dan Marcos seperti api dalam sekam. Meskipun awalnya bersatu dalam perjodohan politik untuk merebut kekuasaan, api dendam lama rupanya tak kunjung padam. Sara mundur dari kabinet Marcos, marah besar ketika anggaran kantornya dipangkas hingga dua pertiga. Pemotongan itu seperti tamparan, mengingat peran strategisnya sebagai Wakil Presiden.
Politik tidak pernah sesederhana yang terlihat. Di balik ancaman Sara, ada tuduhan korupsi yang menghantuinya. Ratusan juta peso dana rahasia diklaim hilang begitu saja dari Kantor Wakil Presiden dan Departemen Pendidikan saat ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Ketika dituduh, Sara tidak mundur. Sebaliknya, ia melontarkan serangan balik yang bahkan lebih tajam. Drama ini, seperti babak terakhir tragedi Yunani, hanya bertambah suram.
Pada saat yang bersamaan Presiden Marcos tetap diam, membiarkan pernyataan Sara bergaung seperti genderang perang. Rakyat Filipina menonton dengan jantung berdebar, terperangkap dalam drama yang tidak pernah mereka minta. Di media sosial, opini publik terbagi. Ada yang mendukung Sara sebagai pahlawan yang berani melawan tirani. Ada pula yang mencemoohnya sebagai bayangan suram dari era ayahnya. Namun, yang paling menakutkan dari semua ini bukanlah ancaman Sara, melainkan kesunyian yang menyertainya. Di balik senyumnya yang dingin, di balik kata-kata yang menusuk, ada sesuatu yang lebih besar-sebuah cerminan dari dunia politik yang telah kehilangan moralitasnya. Sara bukan hanya berbicara tentang pembunuhan. Dia berbicara tentang kekuasaan. Tentang ambisi. Tentang bagaimana sebuah bangsa bisa dikendalikan oleh rasa takut.
Ini adalah Filipina hari ini. Sebuah panggung besar di mana tokoh-tokoh politik bertindak layaknya aktor dalam tragedi besar. Sara Duterte, dengan segala kontroversinya, adalah primadona drama ini. Dunia menyaksikan. Akankah ini berakhir dengan perdamaian, atau akan menjadi kisah kehancuran yang diceritakan selama bertahun-tahun? Sara telah bicara. Sekarang, kita hanya bisa menunggu, dengan napas tertahan, untuk melihat babak berikutnya dari drama politik terbesar di Asia Tenggara. (Rosadi Jamani)