Hari ini, Indonesia memperingati Hari Guru. Sebuah hari yang dikhususkan untuk merenungi peran guru yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Tanpa tanda jasa, tapi beban kerja mereka lebih berat dari ujian masuk fakultas kedokteran. Kita bahas sedikit, sambil ngopi di hutan kota Pontianak.
Pertama, Transformasi Digital Dari Kapur ke Keyboard
John Dewey, filsuf pendidikan, pernah bilang, "Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri." Masalahnya, hidup di era digital ini memaksa guru untuk berpindah dari kapur tulis ke layar sentuh. Tetapi, apakah guru sudah siap? Banyak guru masih menggunakan metode yang relevansinya sama seperti memutar kaset pita di zaman Spotify. Di sisi lain, ada juga yang sok-sokan pakai teknologi, tapi akhirnya malah bikin PowerPoint penuh animasi berlebihan yang bikin pusing. Transformasi digital ini perlu lebih dari sekadar pelatihan dadakan yang sering cuma formalitas.
Kedua, Kompetensi Guru Sebuah Drama Tanpa Ending
Kompetensi guru menjadi sorotan. Paulo Freire, penulis Pedagogy of the Oppressed, berkata bahwa pendidikan harus membebaskan. Ironisnya, banyak guru sendiri justru terjebak dalam sistem pendidikan yang mengekang kreativitas mereka. Pelatihan sering kali berupa seminar di hotel mewah, lengkap dengan coffee break, tapi minim esensi. Guru pulang hanya membawa sertifikat dan kantong plastik berisi makanan ringan. Sementara kemampuan mereka tetap jalan di tempat.
Ketiga, Literasi Siswa Membaca atau Menonton Reel?
Indonesia punya target meningkatkan literasi siswa. Tapi, bagaimana mau meningkat kalau siswa lebih tertarik membaca caption Instagram dari pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya? Lev Vygotsky, ahli pendidikan Rusia, percaya bahwa pembelajaran itu sosial. Jadi, mungkin yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikan literasi dengan hal-hal yang siswa anggap relevan. Contohnya? Bagaimana kalau kita buat Pramoedya trending di TikTok?
Keempat, Kekerasan di Sekolah, Bullying sebagai Mata Pelajaran Ekstra?
Masalah kekerasan di sekolah sering kali diabaikan, seperti lembar tugas siswa yang hilang di meja guru. Maria Montessori, pelopor pendidikan anak usia dini, percaya bahwa lingkungan sekolah harus mendukung pertumbuhan emosional siswa. Tapi, kenyataannya? Sekolah lebih fokus mengejar ranking dari pada menciptakan lingkungan yang aman. Kalau begini terus, jangan salahkan siswa kalau mereka lebih memilih bermain game online dari pada datang ke sekolah.
Kelima, Guru Honorer Pahlawan dengan Status “Pending”
Status guru honorer adalah luka terbuka di dunia pendidikan. Abraham Maslow pernah berkata bahwa kebutuhan dasar manusia, seperti rasa aman, harus dipenuhi sebelum mencapai aktualisasi diri. Tapi bagaimana guru honorer bisa mengaktualisasi diri kalau gaji mereka lebih kecil dari uang bulanan mahasiswa? Guru honorer sering disebut "pejuang pendidikan". Tapi tanpa status yang jelas, mereka lebih mirip tokoh tragis dalam novel Charles Dickens, berjuang keras, tapi tetap melarat.
Peringatan Hari Guru ini seharusnya menjadi momen untuk introspeksi. Kalau hanya diperingati dengan pujian kosong, maka perayaan ini tidak lebih dari sebuah ironi.
Salman Khan, pendiri Khan Academy, pernah bilang, “Di masa depan, pendidikan harus fleksibel dan relevan.” Untuk itu, guru harus diposisikan sebagai pusat perubahan, bukan sekadar pelengkap di sistem pendidikan. Maka, kepada para guru, mari terus berjuang. Kepada pemerintah, please jangan hanya retorika. Kepada kita semua, jangan lupa, mereka bukan robot. Setidaknya, hargai mereka bukan cuma hari ini, tapi setiap hari. (Rosadi Jamani)