Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi tujuannya untuk mengenal Tuhannya. Kemampuan yang dimiliki manusia merupakan potensi yang sama pada seluruh manusia serta sudah menjadi fitrahnya sebagai manusia. Kecenderungan rasa cinta kepada Allah sebagai sesuatu hal yang mutlak, diekspresikan oleh sebagian manusia dengan cara melaksanakan perbuatan dalam bentuk ibadah formal seperti melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah syariah lainnya. Sebagian manusia melaksanakannya lebih dari bentuk ibadah formal dengan cara bertasawuf yang berarti sedekat-dekatnya penuh cinta bahkan sampai dengan ibadah menyatukan diri dengan Allah. Sehingga dalam kajian tasawuf mengarah pada ajaran melaksanakan ibadah yang bersifat batiniyah sedangkan syariah yaitu menekankan pada aspek luar atau lahiriah saja. Keunikan dari tasawuf bersifat batin menjadikan tasawuf bersifat universal, luas, terbuka dan inklusif.
Syariah Agama Islam
Ajaran Islam mempunyai 2 dimensi keagamaan yaitu dimensi luar syariah (eksoterik), dan dimensi batin tasawuf (esoterik). Tarekat (jalan spiritual) dalam kajian tasawuf merupakan kajian esoterik Islam. Hidup yang sesuai dengan ajaran syariat akan dapat membuat manusia mencapai keseimbangan merupakan dasar untuk maasuk dalam tasawuf (tarekat). Tanpa melaksanakan syariat, kehidupan tasawuf akan mustahil, karena kajian tasawuf berhubungan dengan kajian syariat. Kedua kajian tersebut yaitu tasawuf dan syariat mengambil sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadist. (Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, 2001).
Melaksanakan ajaran syariat merupakan sebuah cara hidup yang berusaha untuk bisa sampai pada hakikat. Merupakan sesuatu cara yang penting untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera. Tetapi ada sebagian orang yang telah memiliki batin sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat hidup hanya dalam memahami hakikat, melainkan harus berupaya untuk mencapainya. Mereka berpandangan bahwa Islam adalah suatu perjalanan untuk menuju ke pusat segala sesuatu yaitu Tuhan. Tarekat merupakan suatu cara yang diturunkan oleh Tuhan untuk mereka agar dapat mencapai tujuan akhirnya yaitu hakikat yang merupakan asal dari segala sesuatu. (Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, 2005)
Tasawuf Dalam Islam
Pandangan para tokoh tasawuf menyatakan bahwa tasawuf tidak bisa dipisahkan dari syariat. Namun, syariat yang dijalankan al-Ghazali bukan syariat yang bersifat legal formal saja, tetapi merupakan syariat yang penuh dengan spirit moral dan etika. Syariat merupakan wadahnya dan tasawuf merupakan isinya. Menurut al-Ghazali, tasawuf harus dimulai dari pembersihan diri manusia, baik dari lahir maupun dari aspek batin. Hati manusia yang dibersihkan dari berbagai kotoran nafsu juga gangguan setan membuat sufi bisa terlepas dari jebakan universal godaan duniawi. Tasawuf mengambil pijaknnya pada ketaatan syariah, mulai dari aturan-aturan lahir, seperti rukun Islam, hingga perilaku akhlak kepada sesama manusia dan makhluk Tuhan juga tindakan manusia dengan Tuhannya. Pada masa Rasulullah SAW, semangat melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh tergambar dalam seluruh kehidupan para sahabat Nabi yang diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka. Al-Ghazali menyatakan bahwa etika merupakan puncak ilmu praktis. manusia yang tidak dapat mengendalikan dan mengarahkan jiwanya akan mengalami penderitaan. Pengetahuan tersebut merupakan sebuah syarat untuk membersihkan jiwa manusia sesuai dengan kajian dalam Al-Qur’an dan merupakan suatu pengenalan menuju pengetahuan tentang Tuhan, seperti dinyatakan dalam Hadis Nabi,“Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka ia mengenal Tuhannya”. (Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan Abangan Dan Tarekat Kebangkitan Agama di Jawa, 2006)
Fungsi dari hukum yang bersifat publik dan menyeluruh adalah mengatur hubungan antara manusia. Fungsi spiritual adalah mendisiplinkan seorang fakih, menyucikan jiwanya dari instink negatif dan kecenderungan liar sehingga berusaha untuk mempersiapkan jiwa menuju sesuatu pencerahan yang lebih tinggi. Ketika jiwa sudah dibersihkan akan memperlihatkan diri bagi ilmunisasi suci. Seperti sebuah cermin yang sudah digosok, dengan demikian pembaharuan fiqih-sufistik terjadi pada tekanan “hati” seseorang atau jati diri bagian dalam diri manusia. (Mubaidi Sulaeman, “al–Ghazali: Mendamaikan Syari’ah Dan Tasawuf, Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam, 2020)
Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, al-Ghazali berusaha untuk menghidupkan pengalaman ilmu-ilmu agama dengan pendalaman spiritualisme tasawuf. Bagi al-Ghazali, tasawuf tidak untuk mengabaikan syariat, tetapi justru sebaliknya untuk menghidupkan sesuatu dari pengamalan syariat. Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Quran dan Hadis Nabi, ditambah dengan doktrin AhluSunnah Waljamaah. Al-Ghazali menjauhkan ajaran tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi juga penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.( Rosihon Anwar, “Akhlak Tasawuf”, 2010) Karya-karya al-Ghazali menyebar di seluruh dunia Islam, terutama Islam Sunni. Tak hanya di kawasan Timur Tengah seperti di Mesir, Maroko, melainkan juga di Asia tenggara. Menurut Azra, popularitas tasawuf al-Ghazali yang begitu luas di Nusantara tak terlepas dari upaya al-Palimbani. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah, 1995)
Seyyed Hossein Nasr mengibaratkan, orang yang mempraktikkan tasawuf tanpa syariat, atau esoterisme tanpa eksoterisme laksana menanam pohon di awang-awang. Juga Islam bagaikan buah kenari yang kulitnya berupa syariat, isinya adalah tasawuf (tarekat) dan minyaknya yang tidak tampak tetapi ada di mana-mana adalah hakikat. Syariat tanpa tasawuf ibarat tubuh tanpa jiwa, dan tasawuf tanpa syariat tidak mempunyai bentuk lahiriah dan tidak akan mampu bertahan serta memanifestasikan dirinya dalam dunia. Nasr berpendapat dengan menerima dan menjalankan syariat seseorang akan dapat menelusuri jalan tarekat (tasawuf) sehingga akan berhasil mencapai kebenaran (hakikat) yang menjadi jantung segala sesuatu. ( Seyyed Hossein Nasr, “Ideals and Realities of Islam”, 1999)
Sejalan dengan pandangan Nasr tersebut, Muhammad Zaki Ibraim menjelaskan, penyatuan dari syariat dan hakikat terwujud dalam diri Nabi Muhammad SAW. Syariat adalah perkataan Nabi Muhammad SAW. Tasawuf adalah perbuatan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan hakikat adalah kondisi spiritual Nabi Muhammad SAW. Syariat tanpa hakikat adalah kosong dan hakikat tanpa syariat adalah batil. Muhammad Zaki Ibrahim menjelaskan: “Jika seorang Muslim mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tercerminlah penyatuan antara hakikat dan syariat. Syahadat tauhid (kalimat pertama) dalam dua kalimat syahadat merupakan cerminan dari hakikat, dan syahadat Nabi Muhammad SAW. Merupakan cerminan dari syariat. Renungilah kalimat yang selalu kita baca setiap melaksanakan shalat. Di saat kita membaca “iyyaka na‘budu”, maka hal tersebut merupakan perwujudan dari syariat. Ketika kita membaca “wa iyyaka nasta‘in” merupakan perwujudan dari hakikat. Keduanya adalah satu. Mustahil memisahkan keduanya. Ibadah adalah lahir sebuah perintah, dan pertolongan Allah SWT adalah bersifat batin. Setiap sesuatu pasti mempunyai sisi lahir dan sisi batin, sebagaimana jasad dan ruh manusia atau seperti air dan tempatnya.” (Muhammad Zaki Ibrahim, “Abjadiyyat al-Tashawwuf al-Islami”, 1989)
Tujuan akhir hidup manusia adalah kembali kepada Tuhan. Firman Tuhan, “Dia adalah Yang Awal dan Yang Akhir,” berarti bahwa Dia adalah sumber segala sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu. Pengertian firman ini sejalan dengan firman-Nya, “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali” (Q.S. al-Baqarah: 156). Perjalanan yang harus ditempuh oleh manusia adalah perjalanan dari yang lahir kepada yang batin, dari pinggir lingkaran keberadaan kepada Pusat Yang Transenden. Perjalanan ini akan sampai kepada tujuannya bila dilakukan melalui dua jalan yaitu syari‘ah dan thariqah akan membawa manusia kepada tujuannya, yaitu haqiqah yaitu Tuhan. Tiga dimensi agama Islam ini, syariat, tarekat dan hakikat dari suatu sudut pandangan, sejajar dengan tiga dimensi lain, Islam, Iman dan Ihsan. Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya atau jika engkau tidak dapat melihat-Nya, percaya bahwa Dia melihatmu. Sebab kaum sufi mengidentikkan tasawuf dengan ihsan. Karena tasawuf pada intinya adalah beribadah kepada Allah SWT. Bagi kaum sufi, syariat adalah landasan tasawuf sedangkan thariqah adalah jalan menuju hakikat (kebenaran sejati). Tasawuf merupakan bagaikan jantung manusia yaitu sumber kehidupan batiniah dan pusat yang mengatur seluruh ibadah keagamaan umat Islam. Jika Islam diibaratkan sebagai tubuh, maka tasawuf adalah jantungnya. Itulah mengapa para pembela tasawuf mengatakan bahwa tasawuf adalah “jantung Islam”. (Kautsar Azhari Noer, “Tasawuf dalam Peradaban Islam: Apresiasi dan Kritik”, 2006) Karena tasawuf merupakan “jantung” ajaran Islam, tidak semua orang bisa mencapai tingkat tertinggi dalam spiritualitas tasawuf. Sebab umat Islam terbagi menjadi 2 golongan khawas dan golongan awam. Pada golongan khawas, Nasr percaya adanya individu istimewa yang telah dipilih oleh Tuhan sebagai penunjuk jalan untuk golongan yang lain. Kerana dipilih tidak mustahil berhasil mencapai maqam tertinggi dalam tasawuf. Pada golongan masyarakat awam dipandang cukup dengan menempuh kehidupan yang sesuai dengan ajaran syariat dapat masuk surga. Jadi bagi mereka yang ingin mencapai realitas ruhani yang lebih sempurna, maka Islam juga telah menyediakan sarananya yaitu tasawuf. Dengan mengodifikasikan syariat, fikih menetapkan cara yang tepat bagi manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Ilmu Kalam mendeskripsikan kandungan-kandungan iman. Tasawuf memusatkan perhatian untuk memberikan hak yang penuh kepada penyerahan diri dan iman. Tasawuf adalah jalan utama menuju Tuhan. Tasawuf, yang diidentifikasikan dengan ihsan, adalah jalan atau tahap tertinggi yang harus ditempuh melalui Islam dan iman terlebih dahulu. Tasawuf, dengan demikian merupakan intisari agama Islam. (Syamsuri, “Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme Dalam Islam”, 2013)
*Penulis adalah Alumni Aqidah dan Filsafat UIN SMDD Bukittinggi