Tragedi Berdarah: Polisi Menembak Polisi di Solok Selatan
Oleh: Meja Redaksi Lidah Rakyat
Jumat, 22 November 202472
Ilustrasi
Malam itu, 00.43 WIB. Denting kematian terdengar di parkiran Polres Solok Selatan. Kilat api dari moncong senjata memecah gelap. Lalu, melubangi sunyi dengan sembilan peluru. Tidak satu, tidak dua. Sembilan. Apa yang dapat lebih menjelaskan kedalaman amarah selain sembilan peluru yang ditembakkan dalam kegelapan?
Tubuh AKP Ulil Riyanto Ashari menjadi saksi bisu tragedi ini. Dua peluru bersarang di tubuhnya. Satu tepat di kepala, memutus semua kemungkinan percakapan, harapan, dan masa depan. Dia gugur di tempat yang seharusnya menjadi benteng keadilan. Ironi yang menusuk lebih dalam dari peluru.
Di Rumah Sakit Bhayangkara Padang, Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono, berdiri tegar. Namun, wajahnya menyimpan letih. “Senjata dinas,” katanya pelan. Hanya dua kata, tapi cukup untuk memunculkan sejuta pertanyaan, bagaimana senjata yang seharusnya menjaga, berubah menjadi alat penghancur?
Forensik bicara jujur, tanpa basa-basi. Sembilan peluru itu tidak hanya membawa kematian. Ia membawa tuduhan. Bukan kepada pelaku semata, tetapi kepada sistem yang mengizinkan ledakan amarah tanpa kendali.
Tujuh peluru lainnya belum ditemukan. Mungkin tertanam di dinding, mungkin berserakan di tempat kejadian, mungkin juga hanya simbol dari kehancuran jiwa manusia. Forensik akan menemukannya, satu per satu. Tapi luka di hati keluarga korban? Tidak ada ilmu yang bisa memetakan itu.
Dini hari itu menjadi saksi bahwa institusi yang seharusnya menjaga perdamaian malah menelurkan konflik berdarah. "Parkiran Polres" bukan lagi sekadar tempat, tetapi kuburan martabat.
Apakah peluru kesepuluh diselamatkan untuk ditembakkan ke hati nurani kita? Atau mungkin ia sudah tidak ada, karena hati nurani itu sendiri telah lama mati?
Jenazah itu dibawa ke Makassar, kota kelahirannya. Dalam peti, ia terbaring tenang. Tapi jangan tertipu oleh ketenangan itu. Setiap kayu peti itu seperti mengetuk, "Ada yang harus diubah. Ada yang harus diperbaiki."
Kepada mereka yang hidup. Dengarkan suara sunyi dari sembilan peluru itu. Ia lebih lantang dari segala orasi dan jargon institusi.
Keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan, jangan biarkan ketiganya ikut mati malam itu. Sembilan peluru sudah cukup. Jangan tambah dengan peluru apatisme kita sendiri. (Rosadi Jamani)