Kalah itu pedih. Tak ada metafora lain yang lebih pas. Pedih yang menjalar, mengoyak, dan menyisakan lubang di hati. Tapi kalah dari Indonesia? Itu, bagi beberapa orang, adalah tragedi tingkat kosmik.
Stadion Utama Gelora Bung Karno gemuruh. Ribuan suara melantun dalam harmoni patriotik yang mengguncang langit Jakarta. Di tengah itu, Timnas Indonesia berdiri, bukan sebagai tim yang datang untuk kalah, melainkan untuk memahat sejarah.
Marselino Ferdinan, pemuda yang namanya akan dikenang seperti sebuah puisi, mencetak gol di menit ke-32. Stadion meledak. Tidak ada yang peduli bahwa di ujung lain lapangan, seorang pemain Arab Saudi tergeletak, memeluk harapan yang terkoyak. Rustam Lutfullin, sang pengadil Uzbekistan, menunjuk titik tengah. Gol sah, katanya. Publik Saudi, dari jarak ribuan kilometer, mendidih dalam amarah. Sebuah televisi harus menjadi korban amukan pecinta Green Falcon.
Gol kedua datang seperti badai yang tak bisa dihentikan. Menit ke-57, Marselino kembali menorehkan namanya di bintang-bintang. 2-0. Green Falcons, tim yang selama puluhan tahun menjadi mimpi buruk Indonesia, kini hanya bisa menatap tanpa daya. Tapi kemenangan ini terlalu besar untuk diterima tanpa drama. Rustam, sang wasit, menjadi sasaran amuk. Seorang komentator asal Mesir mengangkat suara, “Rustam berpihak,” katanya. “VAR tak netral,” teriaknya lagi. Harusnya ada penalti, harusnya ada kartu merah, harusnya... ah, terlalu banyak “harusnya” di dunia yang penuh ketidakpastian ini.
Rustam mungkin hanya seorang wasit. Tapi, malam itu ia menjadi simbol dari segala kekacauan yang dirasakan pihak yang kalah. Dan Indonesia? Kami bersorak, karena ini adalah malam kami. Mereka menyebut kemenangan ini keberuntungan. Mereka menuding, menuduh, dan mencari kambing hitam. Tapi di atas lapangan itu, keringat para pemain, kerja keras pelatih, dan semangat ribuan suporter tidak bisa dibantah.
Ini adalah kemenangan yang tak sekadar angka. Ini adalah pembuktian bahwa Garuda tidak hanya bisa mengepakkan sayap, tetapi juga terbang tinggi, melewati badai, menuju cakrawala yang belum pernah disentuh. Malam itu, Marselino menjadi legenda. Rustam menjadi kontroversi. Dan Indonesia? Indonesia menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah dilupakan Arab Saudi. (Rosadi Jamani)