Ngomongkan Timnas udah biasa. Pilkada tinggal nunggu nyoblos. Ente mau milih kandidat yang diendose atau kandidat dengan kemampuan sendiri, monggo. "Serah," kate budak Pontianak.
Sekali-kali kita ngomongkan hukum. Hitung-hitung nambah wawasan, wak!
Kami ingin mengupas buku cukup terkenal, The 48 Laws of Power karya Robert Greene. Buku ini bisa dibilang kitab suci buat para pemain politik, pebisnis licik, dan... mungkin oknum yang gemar main aman di balik meja peradilan. Dari judulnya saja, kita sudah kebayang kalau buku ini penuh dengan jurus-jurus sakti buat memanipulasi, berkelit, dan mengambil keuntungan di dunia penuh tikungan tajam.
Sambil menikmati kopi khas Sanggau Ledo dikirimi kawan, yok kita bahas jurus-jurus hukum versi Greene.
Bagian pertama, Greene mengajarkan banyak trik buat merebut kekuasaan, seperti "Law 1: Never Outshine the Master" alias jangan pernah bikin bosmu kelihatan bodoh. Eh, bukankah ini mirip banget sama budaya "asal bapak senang" di banyak instansi kita? Kalau bikin laporan, bukan data valid yang jadi prioritas, tapi gimana bos senyum lebar baca angka-angka absurd.
Atau coba lihat "Law 15: Crush Your Enemy Totally". Greene bilang, musuh harus dihancurkan total biar nggak balik menyerang. Eits, ini kayak nonton drama persidangan Indonesia, di mana yang kalah sidang bisa mendadak kena kasus lain dari masa lalu. Coincidence? Hmm, who knows. Yang paling lucu (dan sedih) adalah "Law 33: Discover Each Man's Thumbscrew", alias cari titik lemah orang lain. Di Indonesia, kayaknya hukum lebih sibuk cari "thumbscrew" pelapor dari pada fokus ke kasus yang dilaporin. Begitu lapor korupsi, eh yang lapor malah diseret-seret ke perkara lain.
Kalau The 48 Laws of Power adalah manual buat berkuasa, maka hukum kita seolah jadi lahan praktiknya. Ada kesan bahwa hukum bukan lagi soal keadilan, tapi soal siapa yang lebih pintar membaca peluang. Lalu, kalau ada yang bilang "Hukum di Indonesia itu tebang pilih," tenang aja, Robert Greene bakal tepuk tangan sambil bilang, "Itu kan di Law 20: Do Not Commit to Anyone. Pas banget!"
Pada bagian ini, seperti pengingat. Indonesia mungkin nggak butuh The 48 Laws of Power. Kita kayaknya sudah master tanpa baca bukunya.
Tunggu bagian kedua, di mana kita bakal bahas trik-trik Greene dan gimana ini nyambung ke drama politik negeri ini. Penasaran, kan? Sabar, wak! Esok sambungannya. (Rosadi Jamani)