LIDAHRAKYAT.COM Jika jurnalisme tradisional ibarat wasit yang meniup peluit tanda pelanggaran, maka jurnalisme konstruktif adalah pelatih yang masuk ke lapangan sambil berteriak, "Bagaimana kalau begini saja solusinya?" Wasit memang tugasnya begitu, tetapi pelatih melangkah maju dengan memberikan petunjuk menuju arah yang lebih baik.
Saat Tempo meluncurkan single brand untuk menyatukan semua produk berita dalam satu platform, Tempo.co, pada hari libur pekan lalu, kita bukan hanya menyaksikan revolusi digital. Namun, Tempo juga mengukir langkah maju dengan mengadopsi model jurnalisme konstruktif yang lebih relevan dengan tantangan zaman. Seperti Anda yang mungkin merasa hidup ini terlalu banyak drama, jurnalisme konstruktif mencoba menjawab kebosanan audiens terhadap berita yang melulu soal masalah, konflik, dan penderitaan. Apalagi di era media sosial, banjir informasi membuat kebosanan berubah menjadi kejenuhan yang memuakkan.
Gagasan jurnalisme konstruktif pada mulanya diperkenalkan oleh Ulrik Haagerup, seorang jurnalis Denmark, yang percaya bahwa berita juga harus berisi solusi. Dalam bukunya, Constructive News, ia menegaskan bahwa media harus memberdayakan masyarakat dengan ide dan inspirasi, bukan sekadar melaporkan keburukan dunia. Istilah simpelnya, dari isu ke solusi. Bayangkan sebuah laporan investigasi tentang kemacetan di Jakarta. Jurnalisme tradisional akan menyuguhkan data kemacetan, wawancara dengan korban yang "terjebak macet lima jam," hingga ulasan tentang jalan rusak, lengkap dengan jepretan foto ribuan mobil yang mengular. Di sisi lain, jurnalisme konstruktif melangkah lebih jauh: menyajikan solusi inovatif, seperti mempelajari kesuksesan sistem transportasi di Tokyo atau merekomendasikan integrasi transportasi ramah lingkungan untuk Jakarta. Disertai analisis pakar tentang efisiensinya, yang menggerakkan pembaca ke arah perubahan.
Tempo, dengan sejarah panjang sebagai watchdog di Indonesia, kini memposisikan dirinya tak hanya sebagai pengkritik, tapi juga pemandu. Dalam platform barunya, investigasi tidak berhenti di soal siapa yang salah, tetapi berlanjut ke apa yang bisa dilakukan. Misalnya, investigasi soal krisis air di suatu wilayah dapat dilengkapi dengan solusi berbasis teknologi pemanen air hujan yang diterapkan di negara lain.
Teori agenda-setting oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw mengajarkan, media menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Dengan pendekatan konstruktif, media tidak hanya menyusun agenda masalah tetapi juga agenda solusi. Efeknya? Audiens tidak hanya terpapar isu, tetapi juga diajak berpikir kritis dan optimis.
Filsafat jurnalisme positif ini juga sejalan dengan gagasan Johan Galtung tentang peace journalism. Galtung menyebut, berita tidak boleh berhenti pada konflik saja, tapi harus menjembatani kesenjangan dengan menghadirkan perspektif damai. Dalam konteks ini, Tempo bukan hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pemain aktif dalam mencari solusi untuk masyarakat yang lebih baik. Sebagai pelopor dalam jurnalisme kritis, Tempo telah membuktikan dirinya mampu bertahan di tengah badai politik dan digital. Kini, dengan mengusung model single brand di Tempo.co, ia mencoba membangun pengalaman membaca berita yang lebih lengkap. Tidak hanya menyajikan berita breaking, freemium, atau berbayar, mereka juga menambahkan fitur eksplainer dan jurnalisme konstruktif. Semua ini dirancang untuk mengajak pembaca berpikir lebih jernih di tengah tsunami informasi. Langkah ini tentu bukan tanpa risiko. Mengandalkan pembiayaan dari pembaca (bukan iklan yang makin intrusif) adalah taruhan besar di tengah dominasi budaya gratisan di internet. Namun, bukankah inovasi sering kali lahir dari keberanian mengambil risiko? Dan Tempo pasti bisa. Kalau dunia butuh jurnalisme yang lebih baik, kenapa tidak mulai dari Tempo? Dengan peluncuran single brand-nya, Tempo seolah berkata, "Kami tidak hanya di sini untuk melaporkan dunia yang kacau, tetapi juga untuk membantu memperbaikinya."
Sebuah perubahan yang pantas dirayakan, tentu saja, dengan tetap mengingatkan mereka: jangan lupa, berita konstruktif juga perlu tetap menarik dan enak dibaca. Sebab, kalau pembaca bosan, semua filosofi tinggi itu hanya akan tenggelam di antara notifikasi media sosial dan meme viral tentang kucing.Sebuah langkah baru untuk Tempo, tempat saya pernah berkiprah di dalamnya. Sebuah harapan baru untuk jurnalisme Indonesia. Karena dunia ini sudah cukup kacau tanpa berita yang memperkeruh suasana.
*Kolumnis www.lidahrakyat.com