Kalian pasti merasakan pujian Jepang pada Timnas. Sebelum dan sesudah laga, negeri matahari terbit itu tak berhenti memuji. Yok kita bahas makna di balik pujian Jepang itu.
Pujian Jepang pada Timnas itu seperti puisi haiku yang dibisikkan angin malam. Indah didengar, menyentuh hati, namun lenyap ketika pagi menjelang. Moriyasu dan pasukannya, dengan senyum lebar seperti samurai yang baru memenangkan duel tanpa darah, menatap Garuda dan berkata, “Kalian berbakat, masa depan kalian gemilang.” Kata-kata manis itu menetes lembut, seperti embun yang menyapa daun. Namun, embun itu hanya untuk dihapus matahari.
Laga dimulai. Gerakan Samurai Biru di lapangan bukan lagi permainan, tapi tarian perang. Sebuah simfoni yang tak memberi ruang bagi lawan untuk bernapas. Gol pertama adalah tamparan lembut. “Bagus, Indonesia! Kalian berjuang!” Gol kedua jatuh dengan gemuruh tepukan di luar lapangan. “Hebat, terus maju!” Gol ketiga, keempat, seperti dentang lonceng di kuil yang merayakan ketenangan setelah kemenangan. Tapi, yang mendengar lonceng itu hanya penonton, bukan Garuda yang tengah jatuh di lapangan.
Selesai laga, pujian itu kembali meluncur. “Indonesia punya masa depan cerah, perjalanan kalian baru dimulai.” Kalimat itu seperti sajak pemakaman. Merdu tapi dingin, penuh hormat namun tak mengubah nasib. Pujian itu, sesungguhnya, adalah ironi tersembunyi. Sebuah anggukan dari yang kuat kepada yang ingin kuat, bukan untuk menyejajarkan, tapi untuk menghibur yang terluka.
Apa makna pujian Jepang? Itu adalah drama epik tentang keberanian yang belum menemukan ujungnya. Simbol penghormatan dari gunung kepada bukit. Seperti pahlawan perang memandang lawan yang gugur dengan tatapan yang berkata, “Kau hebat karena mencoba, tapi pertempuran ini milik kami.” Sebuah pujian yang membelai luka, tapi tak menyembuhkan. Itulah drama di balik kata-kata manis itu. Tepukan punggung penuh arti dari lawan yang tahu dia telah menang jauh sebelum peluit berbunyi.