LIDARAKYAT.COM Paman Birin, sang penari di atas karpet emas hukum. Ia selalu lentur dan licin. Lihatlah bagaimana si tukang ngopi di emperan pasar ini, membandingkan nasibnya dengan sang gubernur flamboyan itu. Seandainya saya, tukang ngopi dengan celana bolong dan uang receh di kantong, tertangkap basah menyelipkan sepotong pisang goreng dari warung sebelah, tentu kaki ini sudah diangkut ke truk tahanan. Tak sempat bilang "astagfirullah." Tetapi Paman Birin? Ah, dia seperti Samson berotot hukum titanium, di-back up raksasa partai dan disokong konglomerat kerah sutra.
Bayangkan, penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang biasanya diikuti dengan tepuk tangan pengawal tahanan, kini malah berubah jadi adegan teater praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lakon itu berakhir dramatis. Praperadilan dimenangkan Paman Birin. Seperti kisah epik heroik di mana sang pahlawan melangkah keluar dari gedung pengadilan dengan lambaian tangan. Sementara KPK berusaha menjaga senyum kecut agar tak retak.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, berbicara dengan tenang. Seperti seorang pembawa berita yang melaporkan cuaca cerah setelah badai. “Kami akan mengkaji putusan tersebut dan mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya.” Di sudut Gedung Merah KPK, mungkin ada seorang penyidik yang duduk merangkul lutut, memandangi atap sambil berpikir, bagaimana mungkin?
Tentu, KPK punya dua alat bukti, katanya, sesuai Pasal 44 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Alat bukti yang katanya cukup untuk membuat siapapun mendadak pucat pasi. Tapi, di dunia Paman Birin, alat bukti itu seperti batu kerikil yang dilemparkan ke kaca kebal peluru. Tak ada retak, tak ada denting. Hukum yang konon tajam ke bawah dan tumpul ke atas seakan sedang pamer senam lentur.
Bagaimana dengan saya, si tukang ngopi, yang mendengar semua ini dari siaran radio tua di pojok warung? Dengan seteguk kopi pahit di mulut, saya hanya bisa merenung. Mungkin, hukum di negeri ini memang punya dua alam. Satu untuk kita yang menyembunyikan pisang goreng, dan satu lagi untuk Paman Birin yang bisa mementalkan status tersangka seperti menggoyang bulu di bahunya.
Paman Birin, tetaplah menari. Langit hukum masih biru untukmu, dan aku? Aku cukup puas dengan kopi pahit ini. Setidaknya, itu masih hukumnya adil.***