Less is more. Kutipan yang dipopulerkan oleh arsitek modern dari Jerman, Ludwig Mies van der Rohe memiliki makna filosofis yang mendalam, terutama terkait dengan minimalisme dan kesederhanaan. Saya memaknainya bahwa terkadang ketiadaan hal yang berlebih justru bisa memberikan dampak yang lebih bermakna. Kutipan itu kemudian berpengaruh besar, bukan hanya dalam dunia arsitektur, melainkan juga dalam seni, desain, bahkan cara hidup modern.
- Kutipan ini menjadi sangat relevan saya rasakan sejak beberapa bulan lalu. Berangkat dari sebuah situasi sederhana di mana saya kesulitan mencari pakaian yang pantas dikenakan untuk menghadiri sebuah acara. Padahal di dalam lemari saya, puluhan pasang pakaian beragam model, warna dan jenis bertumpuk dan tergantung. Bahkan muncul rasa kesal ketika melihat isi pakaian di dalam lemari saya tampak penuh, sehingga sulit mengambil atau melihat seluruh pakaian-pakaian yang saya simpan di lemari itu. Situasi ini membawa kesadaran pada diri saya, bahwa rupanya saya terlalu lama menumpuk pakaian yang tidak pernah dikenakan, atau hanya satu-dua kali dikenakan. Apakah itu pakaian pesta yang terlalu gemerlap, atau pakaian yang dibeli karena impulsif melihat harga diskon, atau pakaian yang ukurannya sudah tidak lagi pas di tubuh.
- Saya kemudian teringat pada salah satu buku yang pernah saya gemari di sekitar tahun 2016, yaitu “The Life-Changing Magic of Tidying Up: The Japanese Art of Decluttering and Organizing” karya Marie Kondo. Ia merupakan seorang pakar dan praktisi konsep hidup minimalis dari Jepang. Bukunya itu bahkan diangkat menjadi serial di Netflix yang tidak kalah menarik. Sejak saat itu, saya mengagumi konsep hidup minimalis, meski harus diakui bahwa menjalankannya tidaklah mudah. Butuh konsistensi yang kuat, di tengah situasi yang bergerak dinamis. Saya sendiri tidak mengklaim diri saya seorang minimalism, saya masih terus belajar menuju ke arah sana. Karena dalam beberapa momen, saya masih kerap merespon situasi yang berubah dengan mengalihkan diri melakukan belanja impulsif.
- Dalam konsep hidup minimalis, sebagaimana juga digaungkan oleh Marie Kondo, ada satu proses penting yang perlu dilakukan, yakni decluttering, atau berbenah. Proses ini bersifat repetitif, artinya perlu dilakukan secara berkala oleh mereka yang menjalankan konsep hidup minimalis. Namun, bagi yang belum terbiasa, proses decluttering adalah momen yang sangat berat dan menguras emosi. Pada proses ini, kita belajar untuk menikmati kepergian. Kita belajar melepaskan apa yang dirasa kurang esensial dari barang-barang yang kita miliki. Sejak membaca buku itu, saya pernah melakukan decluttering beberapa kali. Namun harus diakui, tidak repetitif. Hal ini yang kemudian saya coba benahi di tahun 2024, delapan tahun setelah saya membaca bukunya Marie Kondo.
- Saya memulai proses decluttering ini dengan cara pertama, mengosongkan isi lemari. Semua pakaian saya keluarkan. Tujuannya adalah untuk melihat dengan utuh, seberapa banyak pakaian yang saya miliki dan saya simpan di dalam lemari. Hasilnya, saya mendapati tumpukan pakaian yang menggunung. Saya bahkan merasa pusing melihat tumpukan pakaian tersebut. Setelahnya, saya “berkomunikasi” dengan setiap pakaian yang menggunung itu. Caranya adalah dengan saya sentuh satu per satu pakaian itu dan saya biarkan tubuh saya merespon dengan sendirinya. Ada satu pertanyaan yang selalu saya sampaikan dalam hati saat menyentuh pakaian saya, apakah pakaian ini memicu kegembiraan (spark joy) di dalam diri? Marie Kondo mendeskripsikan “spark joy” itu sendiri sebagai sedikit sensasi di dalam tubuh kita seolah-olah ada sel-sel dalam tubuh yang meningkat. Sementara saya menafsirkan istilah itu sebagai getaran dalam tubuh yang muncul.
- Jika rasa gembira (joy) itu muncul saat saya menyentuh pakaian itu, maka layak saya simpan. Sebaliknya, jika rasa gembira itu tidak hadir, maka pakaian itu saya sisihkan sejenak untuk saya ucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Pakaian-pakaian itu saya kumpulkan untuk kemudian disumbangkan. Kegiatan declutting serta konsep minimalis semacam itu perlahan saya coba terapkan bukan hanya pada urusan pakaian, tapi juga benda-benda lain yang melekat dengan diri saya. Proses decluttering ini memang memakan waktu dan biasanya tidak selesai dalam satu hari. Terlebih karena melekatnya ego untuk tidak melepas pakaian yang tidak “spark joy”. Tapi rupanya, proses melepaskan semacam itu membawa pengalaman menarik, karena pada akhirnya membawa rasa lapang di dalam diri.
- Ke mana pakaian-pakaian itu disumbangkan? Untungnya saya ikut serta membangun dan menjalankan sebuah komunitas kecil-kecilan sejak 2022 lalu bersama seorang kawan yang merupakan penulis, Lucia Priandarini, yakni Komunitas Maja Ngariung yang bergerak di isu sosial di Kecamatan Maja, Lebak, Banten. Salah satu kegiatan yang rutin kita lakukan adalah mengumpulkan donasi barang sandang layak pakai dari teman-teman dan warga sekitar Maja, untuk kemudian dibuat semacam bazaar gratis untuk warga kurang mampu di Lebak. Biasanya kami bekerjasama dengan masyarakat Lebak atau ibu-ibu PKK di Lebak.
- Saya biasa menyalurkan, bukan hanya pakaian tapi juga barang sandang lainnya yang layak pakai pada kegiatan tersebut. Kegiatan bazaar gratis barang sandang donasi layak pakai terbaru, digelar oleh Maja Ngariung di Pondok Pesantren Hidayatul Muta’allimin di Desa Mekarsari, Maja, Lebak, Banten. Lebih dari 600 barang sandang layak pakai hasil donasi disalurkan kepada lebih dari 100 warga dan puluhan santri di pesantren tersebut. Kegiatan terbaru lebih banyak peran aktif kawan saya, Lucia Priandarini dan suaminya serta bantuan dari pihak pesantren dan juga ibu-ibu PKK di Desa Mekarsari.
- Setelah selesai melakukan proses decluttering, saya mendapati bahwa lemari saya menjadi lebih lapang dan tampak rapi. Saya bisa melihat dan menggapai dengan mudah satu per satu pakaian di dalamnya. Lebih dari itu, saya juga bisa menghemat waktu untuk memilih pakaian dan merapikan pakaian di lemari yang lapang. Situasi itu juga membuat saya merasa jauh lebih bersyukur dengan apa yang saya simpan dan saya pertahankan di dalam lemari. Karena saya tahu bahwa saya hanya menyimpan barang yang saya anggap paling berharga.
*Penulis Adalah Anggota Satupena, Postgraduate Student in Business & Communication Management LSPR