Supriyani, sang pahlawan honorer dari Konawe Selatan, kini kembali menjadi primadona headline. Bukan lantaran ia berhasil menginspirasi murid-muridnya dengan kata-kata bijak, tetapi karena ia terjerat ironi hukum yang kejam. Baru beberapa hari sebelumnya, dalam suasana penuh basa-basi damai di rumah jabatan Bupati, kasusnya seolah selesai. Namun, seperti angin yang membawa kabar baru, kedamaian itu ternyata lebih rapuh dari pada janji manis di iklan.
Supriyani, sosok guru yang diharapkan jadi pahlawan dalam senyap, justru berakhir dalam drama yang lebih menyerupai sandiwara negara. Ia dituduh melakukan tindakan ‘kejam’ pada muridnya. Murid yang ternyata punya darah biru hukum. Tentu saja, Supriyani membantah tuduhan tersebut. Tetapi, siapa yang bisa menang dari suara seragam biru? Meski sempat ditahan, ia pun akhirnya dilepaskan dalam "kedamaian" yang ternyata hanya ilusi.
Bayangkan betapa ironisnya, Bupati Konawe Selatan, dengan segala wibawanya, mengumpulkan mereka semua di rumah jabatannya. Ruang diplomasi untuk meredam drama pendidikan yang viral di mana-mana. Suasana seperti dalam drama percintaan klise, di mana semuanya sepakat bermaafan dan tampak legawa.
Tapi siapa sangka, di balik salaman itu, ternyata tersimpan rasa tertekan yang mendalam. Ternyata, damai tidak seindah meme WhatsApp keluarga.
Dalam surat bermeterai sepuluh ribu rupiah, Supriyani akhirnya mencabut kesepakatan damai tersebut. Ia menyatakan dengan tegas, tanda tangan di surat itu ia berikan di bawah tekanan. Betapa ironis. Seorang guru yang tugasnya membimbing dengan hati, justru dipaksa bersetuju atas nama kedamaian yang tak pernah ia setujui. Kalau saja “kedamaian” semudah menandatangani secarik kertas di bawah tekanan, mungkin negara kita sudah damai sejak dulu. Seperti pepatah tua yang mengatakan “teman sejati adalah yang tetap bersama di saat tersulit,” Ternyata pepatah ini tak berlaku di kasus Supriyani. Begitu surat pencabutan damai keluar, tim kuasa hukumnya pun ikut terombang-ambing. Samsuddin, pengacara yang semula mendampingi Supriyani dengan setia, tiba-tiba dicopot dari posisinya. Rupanya, ia dianggap melakukan penggiringan opini, agar perdamaian tercapai tanpa sepengetahuan pengacara lain.
Maka, drama ini pun semakin rumit. Seperti opera sabun yang tak ada habisnya. Babak baru terus bermunculan. Seperti menciptakan lebih banyak pertanyaan dari pada jawaban. Apakah damai itu hanya permainan simbolik yang bisa dipaksa? Apakah ini hanya kebetulan, atau memang kita hidup di dunia di mana keadilan bisa dipaksa damai di meja makan bupati?
Para netizen, tentu saja, akan meramaikan panggung ini dengan meme-meme penuh sindiran. Gambar-gambar guru yang duduk diam saat anak-anak berbuat onar, takut dilaporkan ke polisi, pasti akan membanjiri layar ponsel kita. Meme tentang “guru cuek demi keamanan” mungkin akan jadi tren baru Hal ini mengingat betapa peliknya kondisi di mana guru lebih takut melaporkan dari pada mengajar.
Entah bagaimana nasib Supriyani ke depannya. Satu hal pasti, ia telah mengingatkan, dalam panggung pendidikan negeri ini, terkadang, yang terlihat damai hanya hiasan di permukaan. Untuk kedamaian yang rapuh seperti ini, mungkin kita butuh lebih dari sekadar tanda tangan di secarik kertas.