Selasa, 10 Desember 2024
lidahrakyat.com
id
en
LidahRakyat

Raja dan Ratu Dilempari Rakyat

Sorotan Lidah Rakyat

Rabu, 6 November 2024 57
LidahRakyat
Ilustrasi

Ketika rakyat sudah marah, tak peduli lagi siapa yang dihadapinya. "Mane duli," kata orang Melayu Sanggau.

Sambil menikmati kopi liberika, ada cerita seru dari tanah Spanyol. Negeri yang masih monarki. Masih ada raja dan ratunya.

Dalam suasana dramatis, Raja Felipe VI dan Ratu Letizia dari Spanyol mendapat “sambutan” luar biasa di Valencia. Bukan tepuk tangan atau bunga, melainkan lumpur dan benda-benda lain yang dilemparkan dengan penuh semangat oleh warga setempat. Raja dan ratu dilempari rakyatnya sendiri. Bangsawan top inipun lari. Untung saja bisa diamankan. Bila tidak, mungkin sudah belepotan dengan lumpur banjir.

Mengapa dilempari? Sekadar protes kecil-kecilan. Karena, ratusan orang meninggal dalam banjir, tanpa peringatan dini dan bantuan yang memadai.

Fenomena ini langsung mengingatkan kita pada para pemimpin di tanah air. Seperti Indonesia, Spanyol juga dilanda cuaca ekstrem akibat fenomena alam DANA, sebuah “isolated high-altitude depression” Mungkin sederhananya mirip fenomena isolated high-altitude leadership, di mana para pemimpin kita kadang-kadang terisolasi dari kenyataan di lapangan.

Di sini, setiap kali ada banjir, longsor, atau bencana lainnya, muncul pejabat yang datang terlambat dengan membawa sekadar senyum, harapan, dan, tentu saja, sesi foto wajib dengan para korban.

Tentu, warga Valencia sangat kecewa dengan kurangnya peringatan dini, hingga tak siap menghadapi banjir. Coba kita refleksikan ke Indonesia, siapa yang perlu peringatan dini? Paling juga rakyat yang sudah terbiasa "tanggap bencana" ala survival mode setiap kali musim hujan tiba. Ketika para ahli berteriak tentang dampak perubahan iklim dan perlunya mitigasi, yang didengar justru soal pembangunan besar-besaran tanpa memikirkan ekosistem sekitar. Jadi, ya... "banjir" bukan lagi kejutan, melainkan bagian dari "kehidupan normal".

Para pemimpin yang hadir pun, persis seperti Raja Felipe VI, tampil heroik setelah badai berlalu. Mereka datang, merangkul warga, memberikan nasihat ala buku motivasi, dan janji-janji perbaikan. Mirip tokoh utama di film drama yang muncul di detik-detik terakhir untuk memeluk para korban, seolah-olah pelukan bisa membendung air yang sudah menggenangi kampung.

Perubahan iklim? Itu masalah global, kata mereka. Indonesia siap hadapi tantangan iklim, asalkan dana bantuan turun tepat waktu! Ucapan klasik ini, tentu, tak mengubah kenyataan bahwa banyak daerah di Indonesia sering terkena bencana karena cuaca yang makin ekstrem. Para pejabat kita lebih sering menyerahkan nasib pada “faktor cuaca” dari pada menyusun kebijakan yang mencegah bencana datang berkali-kali.

Bagi para pejabat, ungkapan “cuaca ekstrem” sudah menjadi tameng paling efektif. Kalau banjir bandang melanda, cukup bilang, “Ya memang sudah takdir.” Tidak perlu repot-repot menyalahkan perencanaan tata kota yang amburadul, drainase yang setengah jadi, atau alih fungsi lahan hijau yang menjadi mal dan apartemen. Apalagi kalau mengingatkan soal kontribusi besar kita pada perubahan iklim melalui deforestasi. Aduh, itu kan, "sumber daya" negara!

Lihat, warga Spanyol bahkan berani melempar lumpur ke arah rajanya! Mungkinkah ini inspirasi untuk Indonesia? Eh, bukan berarti kita harus melempar lumpur juga, tentu saja (kan bisa kena kasus pencemaran nama baik, ya!). Tapi, di tengah seruan untuk bertanggung jawab, mungkin perlu ada aksi yang lebih signifikan. Misalnya, warga bisa mulai mengeluarkan suara yang lebih kritis, meminta transparansi lebih, mulai dari pencegahan bencana, tata kelola dana penanganan bencana, hingga keseriusan dalam menjaga lingkungan.

Mungkin, suatu saat, kita bisa berharap bahwa pemimpin kita bukan hanya datang untuk berfoto dan memberikan sambutan ketika bencana melanda. Bukankah lebih indah jika mereka sudah ada di lapangan sejak awal, menata langkah agar bencana tak terus terjadi setiap musim hujan? Ah, sebuah angan-angan di tengah derasnya arus realitas yang berlawanan.

Komentar
Silakan lakukan login terlebih dahulu untuk bisa mengisi komentar.